Jumat, 31 Januari 2014

CERPEN:~Menunggu Ayah~


~MENUNGGU AYAH~
Oleh: Niaw Shin'Ran

Present..

Tak cukup merelakan, sementara hati belum bisa benar-benar mengikhlaskan. Aku yang menunggu, namun aku telah tertipu..

**

Pukul tujuh pagi, hujan baru saja reda, butir-butir kristal yang menempel pada kaca masih betah membuat pandanganku tak jelas keluar jendela. Samar-samar kulihat ada seseorang tengah membersihkan halamannya dari serbuan daun yang terbawa angin. Kupikir aku pun harus melakukan itu, apalagi banyak pepohonan di depan rumahku, sudah pasti daun-daun lebih banyak yang berhamburan di sana.

Langkahku yang akan melesat keluar dari kamar terhenti ketika kupandangi wajah yang kukasihi tengah berbaring tak berdaya. Segera aku menghampirinya, kusapa ia dengan belaian yang lembut "Ibuu.." namun tak ada jawaban. Sekilas nampak
dibenakku akan segala hal yang membuatku takut untuk meninggalkannya dauh dari sisiku, saat itu pula air mataku menetes tepat ke pipinya yang sudah tak lagi lembut, sudah mengkeriput "Ibu, kita tak bisa melakukan apa-apalagi selain pasrah dengan keadaan yang sekarang,, hik!" sedihku, kemudian kupeluk ia erat-erat.

Ibu masih terlelap dalam keadaan sakitnya, umurnya yang sudah terlampau tua membuat ia dilanda sakit-sakitan, aku kasian padanya "Bu, Mila mau keluar dulu ya, halaman rumah kita harus dibersihkan, kalau tidak nanti daun-daun yang bertebaran di luar bisa bertambah banyak" ujarku. Kutarik selimut yang dipakainya sebatas badan sampai sejajar dengan pundaknya. Kukecup keningnya lalu bergegas keluar untuk membersihkan halaman rumah.

Sekilas kulihat keadaan di luar dari jendela kamar tadi memang nampak tidak hujan, namun ternyata masih ada sisa hujan yang turun, Ya. Gerimis. Karna tak ingin menunda pekerjaan, lantas aku bersihkan saja halaman itu di tengah-tengah gerimis "Kuharap setelah gerimis tidak lagi turun hujan, karna kuyakin ayah pasti akan pulang hari ini, aku rindu sekali padamu ayah" ujarku tersenyum simpul memandangi langit. Kusapu sedikit demi sedikit daun-daun itu menjadi tumpukan daun sebelum akhirnya kumasukan ke tempat sampah.

Lelah mulai kurasakan, kuterduduk di atas ayunan tua yang ada di depan rumah. Teringat akan ayunan tua itu dimasa aku masih sangatlah kecil, dimana ayah dan ibu masih kuat mengayunkanku hingga setinggi langit, ah! Tidak! tidak! Mungkin hanya setinggi badan ayah, ya. Kenangan itu tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun.

Letak rumahku pas sekali di depan jalan raya, kebisingan suara kendaraan sudah menjadi irama yang tak bisa kuhentikan. Dari arah selatan kudengar ada suara sirine ambulance. Entah mengapa setiap mendengar suara itu jantungku berdetak kencang tak karuan. Kuberanjak dari ayunan tadi lalu melangkahkan kaki lebih dekat lagi dengan jalan raya. Kupastikan mobil jenazah tadi lewat di hadapanku, namun ternyata kulihat mobil itu berhenti di depan rumah ke dua dari ujung pertigaan arah ke rumahku. "Ya Tuhan, siapa yang meninggal di sana?" gumamku. Tiba-tiba saja aku teringat ibu yang sedari tadi kutinggalkan. Sebelum aku berbalik badan untuk berjalan masuk ke rumah, kudengar ada suara wanita dan anak-anak berteriak.
BRUGGG!!

"Aaa. . ." histeris teriakan itu setelah ada salah satu sepeda motor yang menerobos menabrak pedagang kaki lima. Mendengar teriakan itu jantungku semakin berdetak kencang dan semakin kencang "Ya ampun, kenapa bisa seperti itu? Ada-ada saja. Ckckck" celotehku. Tak mau lebih lama lagi meninggalkan ibu di kamarnya, aku bergegas masuk. Entah mengapa suasana hari ini begitu sangat berbeda, kumerasa ada sesuatu yang akan terjadi hari ini, namun kejadian apa itu aku tak tahu, hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sepertinya doaku meminta agar tak lagi turun hujan tidak dikabulkan, lima belas menit setelah aku dari luar tadi hujan pun turun lagi, tetapi tidak sederas hujan dipagi buta tadi.

Tlin! Tling!

Suara nada massage terdengar dari handphoneku. Kuraih dan kubaca "Mila, sepertinya ayah tidak bisa pulang siang ini, mungkin sore nanti baru ayah bisa pulang. Km jaga ibu baik-baik ya" dari ayah. Tak bisa kupungkiri ada sedikit rasa kecewa di dalam hatiku, tapi mau bagaimana lagi? Aku harus menahan rasa rindu ini beberapa jam lagi.

Lagi, aku menghampiri ibu yang masih berbaring lemah, beberapa indranya sudah tidak berpungsi, ibuku 'struk'. Kulihat matanya sedikit berkedip, tak lama lalu ibu bicara "A-apakah ayah su-dah pu-pulang?" tanya ibu dengan cara bicaranya yang sudah tidak selancar dulu.
"Ibu sudah bangun..? Ayah belum pulang bu, tapi ibu tidak usah khawatir, nanti sore ayah pasti pulang" jelasku

"Bagaimana ka-kalau ayah terla-lambat datang?" tanya ibu lagi yang membuatku bingung dengan pertanyaannya

"Datang terlambat? Terlambat karna apa bu? Ayah pasti pulang kok" jawabku meyakinkan ibu

"Ta-tapi ibu su-sudah tidak tahan Mila.." ujarnya lirih, lalu kulihat air matanya menetes dengan perlahan. Aku semakin kebingungan ditambah khawatir dengan keadaannya.
"Ibu kenapa menangis? ayah akan segera pulang kok, kita tunggu saja ya, Mila tahu ibu pasti sangat rindu dengan ayah. Hik" aku menangis. Air mata ini pun menyatu kala kudekatkan pipiku pada pipinya. Selepas kesedihanku hari ini, namun tetap saja aku merasa aneh dengan ucapan-ucapan ibu tadi.

**

Orang yang menilai seseorang dari luarnya saja tidak akan pernah memahami apa yang tengah terjadi pada diri seseorang itu. Entah itu bagiakah? Sedihkah? Atau.. Seseorang itu sedang berpura-pura? Ya, itu yang selalu aku lakukan, tidak menunjukkun kesedihan ini kepada orang-orang yang dianggap tidak wajib tahu akan kesedihanku. Is my live, is my problem.

Siang ini aku berencana pergi ke toko kue milik bibi May. Jauh-jauh hari aku sudah memesan kue tar untuk hari ini, hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu. Aku ingin sekali merayakannya bersama-sama. Setelah pamit kepada ibu, aku langsung bergegas pergi ke toko kue milik bibi May yang letaknya tidak jauh dari rumah, hanya beberapa meter saja.
"Hemm.. Terimakasih ya Tuhan, kau sudah membuat matahari keluar siang ini" celotehku menatap langit yang mulai cerah sembari berjalan dengan hati yang senang. Sesampainya di toko kue bibi May, aku langsung menghampiri bibi May. Kulihat ia sedang sibuk menghitung kue-kuenya yang ada di lemari pendingin. Lalu aku pun menyapanya "Selamat siang bibi May.. Ada yang bisa Mila bantu?" tanyaku. Bibi May menoleh dan tersenyum menyambut kedatanganku "Eh! Mila, tidak! Tidak usah.. Silahkan duduk dulu" sahutnya "Km pasti mau mengambil kue tar itu kan?" tanya bibi May. Aku menganggukkan kepala.
"Sebentar ya bibi ambilkan dulu kuenya" ujarnya

"Di sini sepi sekali" ucapku. Bibi May kembali dengan membawa kue tar itu "Iya Mil, hujan tadi membuat suasana jadi sendu dan mudah mengantuk! Pelanggan-pelanggan bibi saja belum berdatangan. Ini kuenya.." ucap bibi May menyodorkan kue. Kulihat hiasan di atas kue tar itu sangat indah, perfec!

"O iyah, bagaimana keadaan ibumu hari ini?" tanya bibi May yang membuatku menatap wajahnya yang cantik. Aku menghela nafas kecil didepannya sehingga halisnya yang kecil mengkerut keheranan "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Tadi ibu menangis bi, dan ibu juga berbicara yang membuatku bingung"
jelasku

"Menangis? Memangnya apa yang ibumu tangisi? Lalu ucapannya yang seperti apa yang membuatmu bingung?" tanya bibi May semakin penasaran. Aku pun menjelaskan semuanya. Bibi May serius mendengarkan penjelasanku, dan tak terasa air mataku menetes di hadapannya.
"Sudah.. Km tidak usah menangis seperti itu Mila, ibumu takut kalau Ayahmu akan terlambat pulang untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka, hanya itu saja kok, dan km harus benar-benar menjaga ibumu seperti apa yang dikatakan oleh ayahmu itu. Ya!" lembutnya menasehatiku dan membelai rambut tergeraiku. Lantas aku pun menghapus air mata ini dan beranjak dari tempat duduk untuk segera pulang.

"Terimakasih bibi May, kalau begitu Mila pamit pulang dulu, ibu pasti menunggu Mila di rumah"

"Iya, hati-hati yah. Sampaikan salam bibi kepada ibumu. Kalau ada waktu nanti malam bibi akan menengoknya" serunya. Aku tersenyum lalu melangkahkan kaki keluar dari toko. Baru saja dua langkah kakiku keluar dari sana, tiba-tiba ada segerombolan anak-anak bersepedah mengagetkanku, dan salah satu dari mereka ada yang menambrakku, sehingga aku terjatuh dan kue tar itu pun terjatuh juga, PLUKK!! Semuanya rusak. Aku hanya bisa menatap kue tar itu dengan mata yang berkaca-kaca, sementara anak yang tadi menambrakku dengan sepedahnya sudah lari entah kemana. Aku mulai meneteskan air mata "Hik! Ada apa ini? Kue tar-kuuu.. Semua hancuuur.. Hik! Susah payah aku mengumpulkan uang jajan selama satu bulan untuk membeli kue ini, sekarang kuenya hancuuur.. Hik!" rengekku. Bibi May yang melihat langsung kejadian tadi segera menghampiriku dan membantuku bangun. Tubuhku tiba-tiba melemas seraya mataku terus menatap kue tar yang sudah hancur itu. "Kue tar-nya hancur biii.. Kue tar-nya hancuurr, hik!" aku masih merengek. Bibi May mengajakku kembali ke dalam toko. Ia memberiku minuman untuk menenangkanku, namun nihil, aku tak bisa memendung air mata ini. "Mila, sudah km jangan menangis lagi, masalah kue itu biar bibi May buatkan lagi ya?" ujarnya.

"Ta-tapi.. Mila gak ada uang simpanan lagi untuk beli kue itu" jujurku. Bibi may menghela nafas kecil dan tersenyum menatap wajahku "Km tidak usah memikirkan hal itu, bibi May kasih kue itu gratis untuk km"

"Benarkah?"

"He'emmm.."

Aku sangat senang akan kebaikan bibi May, aku mendekatinya lalu memeluknya dengan tulus. Bibi May membalas pelukanku "Sudah! Sudah! Tapi bibi tidak bisa buatkan kue itu sekarang, bagaimana kalau nanti malam saja ya bibi antarkan kuenya ke rumahmu? Bukankah acaranya juga nanti malam?" tanya bibi May. Aku kembali menganggukkan kepala. Setelah itu aku pun pamit pulang untuk yang ke dua kalinya kepada bibi May.

Di tengah perjalanan, aku melihat ada dua temanku, Nina dan Tara sedang asik melihat-lihat majalah pasion yang digelar di pinggir jalan. Aku pun menghampiri mereka sebentar sekalian menanyakan tentang beasiswa yang didapatkan oleh Nina kemarin. "Hay Nina, Eh, ada Tara juga, kalian sedang apa?" tanyaku. Nina dan Tara tersenyum simpul "Kita lagi lihat-lihat majalah nih, km habis dari mana?" tanya Nina, sementara Tara masih melihat-lihat majalah itu.
"Aku habis dari sanah.." tunjukku ke arah toko kue bibi May. "O iya, apa benar yang mendapatkan beasiswa itu hanya untuk satu orang di kelas tiga? Tanyaku serius. Nina menganggukkan kepalanya. "Seandainya aku yang mendapatkan beasiswa itu, dan seandainya waktu itu aku bisa menambahkan satu nilai tambahan lagi, pasti.. Pasti aku yaaang, ah! Sudahlah" pikirku. "La, nanti malam kita boleh main kerumahmu kan? Sekalian kita juga mau menengok ibumu, bolehkan?" tanya Tara mulai bicara. "Iya La, boleh ya Laaa" tambah permintaan Nina. Aku diam sejenak. "Bukannya aku mau ngelarang, tapi nanti malam aku mau merayakan hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu di rumah" jelasku

"Memangnya ayahmu sudah pulang?" tanya Tara lagi. Sejenak aku kembali terdiam menahan rasa sedih.
"Nanti sore ayahku pulang kok Ra, aku dan ibu masih menunggunya" jawabku

"Wah, kalau begitu kebetulan sekali. Ajak kita juga dong La, kita juga mau ikut merayakannya. Boleh yaa" pinta Nina lagi. Lagi-lagi aku kembali terpaku oleh permintaan mereka. "Kenapa mereka begitu antusias sekali ingin berkunjung kerumah? Apa dibolehkan saja ya? Lagiankan nanti malam juga akan ada bibi May, kenapa juga Nina dan Tara tidak boleh ikut meramaikan? Baiklah!" ucapku dalam hati. Lantas aku pun memperbolehkan Nina dan Tara untuk datang nanti malam.

**

Menjadi anak sulung itu tidak gampang, apalagi aku mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap ibuku yang sakit. Sementara ayahku pergi bekerja keluar kota untuk mencari uang tambahan biaya cek-up rutin ibu paska kelumpuhan beberapa inderanya. Namun sayang, aku tak tahu ayah ada di kota mana dan bekerja sebagai apa. Biarlah, biar ayah dan Tuhan yang tahu, walau pun beberapa tanda tanya itu selalu bermunculan dibenakku sampai saat ini.

"Ibu, waktunya minum obat" sahutku memasuki kamar ibu dengan membawa beberapa obat yang harus diminumnya setiap hari. Kulihat paras wajah ibu sangat pucat sekali, tubuhnya pun gemetaran, aku langsung merasa khawatir dan segera menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang lebih tebal. "Ibu, Ibu kenapa bu? Apa yang terjadi semenjak Mila keluar rumah tadi?" tanyaku. Ibu berusaha untuk menjawabnya dengan susah payah. "Ta-tadi ada yang da-datang kesi-sini. La-lalu ibu su-ruh di-dia pergi lagi" celotehnya. Aku pun mengkerutkan keningku karna keheranan. "Siapa bu? Kenapa ibu suruh dia pergi?" tanyaku lagi penasaran

"Ibu ti-tidak ta-tau.. Ta-tapi dia me-makai jubah putih da-dan pe-nuh de-dengan cahaya" tuturnya. Aku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya ibu katakan. Ibu semakin aneh, dan aku pun semakin khawatir.
"Mungkin ibu hanya bermimpi. Sekarang ibu minum obat dulu ya" ujarku. "Masa iya di sini ada hantu?" pikirku sembari menatap setiap sudut kamar ibu.

Waktu menunjukkan pukul enam sore. Aku dan ibu masih setia menunggu kedatangan ayah. Sekarang ini entah kenapa nomor handphonenya tidak aktif, sementara ibu tak henti-hentinya menyuruhku untuk menghubungi ayah. Aku benar-benar bimbang, aku takut ayah ingkar janji lagi seperti bulan-bulan kemarin. Dihari ulang tahunku ia tidak pulang, begitu pun dihari ulang tahun ibu. Sekarang harapanku dan ibu benar-benar hanya tertuju untuk menunggu kedatangan ayah pulang.
"Mi-mila, berapa la-lama lagi kita ha-harus menunggu a-ayah? I-ibu sudah ti-tidak sabar.." tanya Ibu.

"Iya bu, sabar yah! Mungkin ayah sedang dalam perjalanan pulang, kita doakan saja semoga ayah cepat sampai" jelasku lebih meyakinkan ibu bahwa ayah pasti akan pulang.
"Ibu ta-kut Mila.." sahutnya. Aku menghampiri ibu yang kududukkan di atas kasur.
"Apa yang ibu takutkan bu?" tanyaku mulai tidak kuat melihat paras wajah ibu yang semakin memujat. Aku menangis di hadapan ibu dan memeluknya.
"Apa bu? Apa yang ibu takutkan? Hik! Justru Mila yang takut kalau ibu kenapa-kenapa bu"

"Orang i-itu a-akan da-tang lagi Mila" jawabnya. Aku semakin takut dengan jawaban ibu itu.
"Buu, siapa orang itu bu? Kenapa ibu takut sama dia? Mila pasti jagain ibu, dan sebentar lagi ayah pulang dan akan jagain ibu juga, hik!" setelah itu ibu terlihat sedikit lebih tenang, namun beberapa menit kemudian ibu menjerit histeris dengan nada yang memilukan.
"Aaaaa. . . O-orang itu a-da di-disini. . ." teriak ibu mencoba memelukku, kuraih tangannya untuk bisa memelukku. Aku menangis dan takut sekali akan seseorang yang dimaksud oleh ibu itu. Aku mencoba menenangkan ibu kembali, namun ibu semakin berontak layaknya orang yang sedang tercekik. Aku bingung "APA YANG HARUS MILA LAKUKAN BUU. . ? Hik! MILA TAKUUUT" Aku ikut berteriak. Mata ibu melotot, dan lidah ibu semakin menjulur keluar. Inginnya aku mencari bantuan keluar, namun aku tak tega meninggalkan ibu dalam keadaan yang tidak wajar seperti itu. Sesekali aku menengok ke arah jendela, berharap ada seseorang yang lewat. "Ayah cepat pulang yaaah, hik! Bibi May, Nina, Tara. . . Cepat ke sini, aku butuh bantuan kaliaaan" gumamku sembari menahan tubuh ibu yang mengejang. Suara kendaraan di luar sana membuat teriakan ibu tak dapat didengar orang, kecuali aku, hanya aku! Nafas ibu semakin tak beraturan, juga degupan dadanya semakin kencang.
"A-ayah.. A-yah mana? A-ayah.. I-bu mau berte-temu dengan A-ayah" ibu kembali berkata-kata.

"Mila tidak tau kenapa ayah belum juga datang buu.. Mila tidak tauu.. Hik! Hik! Ibu harus kuat bu!" pintaku semakin tak tahan mendengar celotehan ibu.
"Milaaa.. I-ibu mau pu-pulang" ujarnya

"Ibu mau pulang kemana buu? Ini rumah ibu, kita harus tunggu ayah, aku sudah menyiapkan kue untuk ulang tahun pernikahan ayah dan ibuuu.." jelasku. Mulut ibu menganga dan matanya semakin terbuka lebar menatap langit-langit seakan orang ditakutinya ada di sana. "Mila, I-ibu ti-dak tahhh...." ... "han!" .... PLUUKK!" tubuh ibu terhempas begitu saja dari pelukanku. Ibu meninggal.
"IBUUU.. Buuu bangun buu, hik! Ibu gak boleh pergi sebelum ayah pulang buuu.. Ibu! Bu! Bu bangun buuu.." Aku menggoyahkan tubuh ibu berharap ia belum meninggal. Namun semuanya telah terjadi, ibu benar-benar sudah tiada. Selama satu jam kebelakang tadi itu aku menyaksikan ibuku kesakitan yang amat luar biasa sakit, nyawanya dicabut oleh malaikat pencabut nyawa, tak sempat aku membimbingnya menyebutkan asma Tuhan. Tak terduga, semuanya terjadi begitu saja. "IBUUUUUUU...." teriakku dengan penuh kekesalan, kekesalan karna yang diinginkan oleh ibu yaitu kehadiran ayah yang tak kunjung datang, juga kekesalanku pada diri sendiri yang belum sempat membahagiaan ibu.

Bibi May, Nina dan Tara datang pada waktu yang bersamaan setelah sepuluh menit ketiadaan ibu, aku masih merangkul jasad ibu di atas kasurnya dengan air mata yang masih bercucuran.

"Kami dattt..." ... "Embak Laras!" ... "Mila!" semua mata tertuju pada jasad ibu, kue tar yang dibawa bibi May terjatuh dan hancur, sama seperti hatiku yang hancur saat ini. Nina dan Tara ikut menangis bersamaku sembari mencoba menenangkanku, sementara bibi May memanggil mobil jenazah yang memiliki suara sirine yang sering membuat jantungku berdetak kencang. Kini mobil jenazah itu sudah ada di depan rumahku dan membawa jasad ibu ke rumah sakit.

Bibi May memelukku, bibi May tak henti-hentinya mengelus rambutku. Aku yang masih syok dan tidak percaya akan semua ini, aku yang dilanda pilu, duka dan lara. Sementara orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang, 'AYAH'. Selesai diperiksa oleh dokter, ibu dibawa kembali pulang ke rumah. Bibi May menyiapkan segalanya, bibi May membantuku untuk mengurus jenazah ibu. "Mila, maafkan bibi yang membiarkan km melewati kejadian tadi sendirian" ujarnya

"Bibi tak usah minta maaf, ini semua sudah menjadi kehendak tuhan.. Hik!"

"Mila jangan khawatir, bibi akan temani km sampai selesai.. Bibi janji"

"Makasih bi.. Makasih ya, hik!" . Bibi May kembali memelukku di depan jenazah ibu yang sudah siapa dimakamkan. Namun aku meminta kepada bibi May untuk menunggu ayah terlebih dahulu sebelum ibu di kebumikan. Tetapi bibi May menolak permintaanku.
"Mila, apa km tidak kasian sama ibumu? Jenazah ibumu harus segera dimakamkan" jelas bibi May

''Ta-tapi ayah..??"

"Sudahlah Mila, ayahmu tidak akan pernah datang lagi! Sekarang, malam ini juga kita harus menguburkan jenazah ibumu" gertak bibi May yang membuatku merasa aneh atas sikapnya itu.

"Maksud bibi apa ayah tidak akan datang lagi?" tanyaku penasaran.

"Mila, kita harus segera memakamkan jenazah ibumu" seru bibi May mengalihkan pembicaraan dan tak menjawab pertanyaanku. Kemudian setelah itu ada seorang laki-laki paruh baya menghampiri kami, ia mengatakan kalau jenazah ibu dimakamkan besok pagi saja karena keadaan diluar sedang turun hujan. "Terimakasih ya Tuhan, semoga ayah datang malam ini" celotehku dalam hati. Sementara bibi May menatapku dengan tatapan yang kurasa ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Namun entah apa itu.

Aku tak ingin tertidur malam ini, aku ingin menemani jenazah ibu dan menunggu kedatangan ayah pulang. Aku begitu sangat yakin, ayah pasti akan syok melihat ini semua, seperti aku. Nina dan Tara kembali lagi ke rumah untuk menemaniku, sementara bibi May tertidur karna kecapean. Samar-samar kulihat paras wajah ibu dibalik kain putih, aku teringat waktu dimana aku begitu sangat tekun merawatnya, aku suapi ibu saat akan makan, aku basuh seluruh badannya setiap hari agar selalu bersih dan wangi, aku selalu ada untuk ibu. Kini jenazahnya yang ada di hadapanku telah membuktikan betapa berharganya sosok seorang ibu. Aku merasa bahagia bisa merawat ibu.

"Mila.. Ini, kita bawa makanan untukmu dan bibi May. Kalian berdua pasti belum makan kan?" tanya Nina dan Tara menyodorkan makanan. Aku menggelengkan kepada "Aku tidak lapar" ujarku. "Kalian simpan saja makanan itu, bibi May pasti akan memakannya kok" lanjutku.

"Km juga harus makan Mila.." seru Tara

"Nanti saja.." jawabku singkat.
 Nina dan Tara saling bertatapan dan memilih untuk duduk bersamaan didekatku.

**

"Mila, bangun.. Ini sudah pagi, kita harus segera membawa jenazah ibumu ke pemakaman" ujar bibi May sembari membangunkanku dari ketiduranku tadi malam. "Ayah. . Mana Ayah?" tanyaku menanyakan ayah kepada bibi May.

"Mila, ayahmu tidak pulang.. Dia tidak ada di sini" jelas bibi May. Aku kembali meneteskan air mata dan mengalihkan pandanganku pada wajah jenazah ibu.
"Lalu.. Lalu bagaimana dengan ibu bi? Ibu ingin sekali bertemu dengan ayah, hik!"

"Ibumu pasti sudah menemui ayahmu Mila.." jelas bibi May "Ayo Mila, jenazah ibumu akan segera dibawa ke pemakaman" lanjutnya lagi. Dengan berat hati aku merelakan ibu dibawa dan akan dikuburkan. Dengan segala tenaga yang kupunya, aku berusaha beranjak dan mengantarkan ibu ke tempat peraduannya yang terakhir.

Tidak banyak orang yang hadir di pemakaman ibu, kupandangi sekitar pemakaman, berharap ayah tahu aku dan ibu ada di sini. Ketika ibu hendak dimasukan ke liang kubur, aku kembali menangis histeris "IBUUU.. Ibu, ibu kenapa tinggalin Mila sama ayah bu? Ibuu.. Hik!" keluhku. Bibi May menangis melihatku dan berusaha untuk membuatku ikhlas dan merelakan kepergian ibu. Tiga puluh menit berlalu, kini ibu telah ditelan bumi, hanya ada tanah merah yang memumbul di hadapanku. Isak tangisku masih menghiasi pemakaman ibu, sekarang ini hanya ada aku dan bibi May yang masih setia menemaniku. Angin yang berhembus pada pukul sembilan pagi di pemakaman ini lumayan kencang, sampai-sampai kerudung hitamku terbawa angin dan jatuh di salah satu kuburan yang ada disamping pemakaman ibu. Selendangku tepat menutupi batu nisan kuburan itu, lantas segera kuambil. Entah mengapa aku penasaran dengan tulisan yang terukir dibatu nisan itu, dan kubaca dalam hati "Hendra prima bin prima sanjaya" .

Deg ! Deg ! Deg !

Jantungku berdetak kencang, mataku terbuka lebar, mulutku menganga "AYAAAAAAH... Gak! Gak mungkin! Ini bukan kuburan ayah kan bibi May" tanyaku teriak histeris. Bibi May menangis tersedu-sedu, lalu menganggukkan kepalanya yang bertanda kalau itu memang benar kuburan ayah. "Enggak! Ini bukan kuburan ayah! Bibi harus menjelaskan ini semua sama Mila bi.. Hik, ayaaaaah" . Bibi May memelukku lalu menjelaskan semuanya. "Mila, sebelumnya bibi minta maaf sekali sma Mila karna sudah merahasiakan semua ini dari mila. Sebulan yang lalu, waktu kamu sedang menghadiri pensi di sekolah, bibi kerumah untuk melihat konsi ibumu, ketika itu ada mobil jenazah datang membawakan jenazah ayahmu, dia dibawa oleh salah satu teman kerjanya yang bernama pak Alex, dia bilang kalau ayahmu meninggal dunia karna tertimpa tanah longsor. Lalu ibumu menyuruh bibi untuk segera memakamkan jenazah ayahmu karna tidak ingin kalau km sampai mengetahui semuanya, karena ibumu tahu kalau km sangat sayang sekali pada ayahmu. Makanya ibumu dan bibi May merahasiakan semua ini dari km May, dan soal massage itu, itu bibi yang kirim memakai nomor handphone ayahmu atas permintaan ibumu juga, hik! Maafkan bibi ya Mila.." jelasnya. Aku tidak bisa terima keadaan ini begitu saja. Aku beranjak lalu pergi meninggalkan bibi May. Aku berlari sekencang-kencangnya, berharap malaikat pencabut nyawa mengikutiku kemana pun kupergi dan mengambil nyawaku pula agar bisa menyatu dengan keabadian tuhan.

"Ayah, aku menunggumu, namun ternyata aku telah tertipu..."

Tamat
31 Januari 2014
#Niaw_ShinRan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan jadilah pembaca setia cerpen maupun puisi saya...