Minggu, 23 Maret 2014

CERPEN~Aku Bukan Upik!!~


Penulis: Niaw Shin'Ran

Present..

Kejujuran yang tak terduga bisa kita dengar dari siapa saja, baik dan buruk, senang dan sedih juga yang paling pahit sekalipun..

**

Percakapan minggu kemarin itu membuatku tak bisa tidur semalaman, mungkinkah aku merasa terbebani dengan amanatnya? Ataukah aku mulai tidak sanggup merahasiakan perasaanku ini? Ya, mungkin. Seberapa pantaskah kumiliki rasa cemburu setiap kali kudengar dia menyebutkan nama perempuan itu di setiap kali kuajaknya bercerita tentang sesuatu yang lebih menyenangkan dari pada dia, dia dan dia. Aku hanya bisa terpaku, sementara telingaku sudah ingin meledak, seandainya aku bisa membungkam mulutnya agar tidak terlalu sering menyebutkan namanya, kenapa selalu dia? Tentangnya, senyumnya, matanya, rambutnya dan STOP!! Aku tak ingin mendengarnya lagi.

"Ayolah Rie, hanya satu bulan ko, aku minta km untuk jagain Mira buat aku" pinta Candra kemarin malam itu

"Kenapa harus aku si? Emangnya dia anak kecil apa mesti dijagain segala? Gak usah lebay deh!" cetusku

"Yasudah kalau begitu kita gak usah kontekan selama satu bulan aku ke luar kota!" ancamnya

"Ta-tapi.. Hmmm Baiklah!" seruku terpaksa

"Nah gitu dong, itu namanya anak penurut, hehe" ujarnya lalu membelai rambutku.

Ya, aku terpaksa melakukan itu, entah bagaimana mulutku ini mengatakan "Baiklah" dengan sendirinya, mungkin juga karna dorongan perasaan yang tak ingin jauh dari Candra sekalipun itu via handphone. Beberapa kali aku biarkan diri ini menjadi seperti upik di kehidupan Candra semenjak mengenal Mira. Aku bosan disuruh membeli lolipop untuk Mira, aku bosan disuruh menulis puisi untuk Mira, semua untuk Mira. Aku capek!!

Dan lagi, malam ini aku tak bisa tidur, lelah seharian berpura-pura perduli kepada perempuan yang memang pemicu rasa cemburuku, Mira. Sementara Candra yang katanya sedang sibuk di luar kota untuk urusan rahasianya membuatku merasa kerepotan sendiri, hari ini dia tak membalas pesanku, membuatku merasa terlupakan.

"Kalau saja Candra lebih peka sama perhatian yang selama ini aku lakukan, mungkin aja kan kita sekarang udah jadian. Hmm.. Ngarep banget si" celotehku. Terlalu lelah hari ini, aku pun tertidur.

Pagi-pagi sekali Candra sudah menelphoneku dan menyuruhku untuk segera bangun. Tak ada yang penting, dia hanya menyuruhku untuk membuatkan sarapan untuk Mira, jelas saja aku marah dan tidak mau melakukan itu.

"Gak! Aku gak mau! Mira kan bisa masak sendiri, lagi pula yang sering nyiapin sarapankan si Mira, bukan aku!" cetusku

"Tapi kali ini aku minta km yang nyiapin sarapan buat Mira, cuma satu bulan ini aja ko Rie, plis" pinta Candra yang mengeluh

"Apah! Sekalian aja aku yang nyuci baju dia, aku yang setrika baju dia, semuanya aja aku yang lakuin!" aku pun marah, lalu mematikan telephone. Tak lama kemudian Candra mengirimkan pesan singkat, jelas dan padat.

"Terimakasih"

Menyebalkan!
Aku tak menuruti apa yang disuruh Candra tadi. Aku merasa tidak ada harganya lagi dimatanya, dia benar-benar sudah menganggapku seorang upik alias pembantu. Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu kamarku.

Tok!
Tok!
Tok!

"Siapa? Aku masih ngantuk" ujarku

"Ini Mira, embak. Katanya hari ini mau ngajarin Mira les bahasa inggris, terus embak Tarie juga bilang hari ini mau ngajarin aku bagaimana caranya dandan biar cantik. Oiya embak, tadi mas Candra bilang katanya embak mau buatin Mira sarapan, ayo bangun embak, udah siang" tuturnya yang membuatku ingin sekali tutup telinga

"Iya bawel!!" seruku. "Ihh.. Kenapa jadi ngeselin kaya gini si? Kenapa aku ngerasa jadi pembantu di rumahku sendiri?" gerutuku di kamar. Sementara Mira senyam-senyum di balik pintu kamarku.

Sekarang aku sudah siap dengan wajan dan kompor yang ada di depanku, kumasak semua yang kulihat di dalam lemari es, entah akan seperti apa jadinya.

"Tadaaa.. Ni sarapan buat kmu.. Habis ini jangan lupa tolong setrika baju aku, oke" ucapku menyodorkan makanan yang kumasak tadi

"Tapi embak, kata mas Candra, embak yang ngerjain semuanya, termasuk baju Mira juga embak" tutur Mira yang membuatku naik darah

"Sebenarnya majikan kmu itu siapa si? Aku atau Candra? Ngapain si kmu dengerin dia segala!" merongosku

"Maaf embak, kata mas Candra itu semua karna perjanjian embak dan mas Candra minggu kemarin" jelas Mira membuatku tak bisa menahan kesabaran lalu pergi dari hadapan Mira. Dan lagi, Mira senyam-senyum sendiri.

"Emmhh!! Asin banget si, embak tari benar-benar harus terbiasa masak biar bisa masak" celoteh Mira setelah mencicipi masakanku.

Seperti apa yang Mira katakan tadi, aku memang pernah menjajikannya untuk belajar bahasa inggris lalu mengajarinya makeup yang benar. Walau hati ini sebenarnya sudah sangat gondok, tapi apa boleh buat, aku pantang tak menepati janji, apalagi ini demi perasaan cinta.

"I love you" kataku

"Aku cinta padamu" kata Mira

"I Need you" kataku

"Aku butuh kamu" kata Mira lagi

"I Miss you" kataku

"Aku rindu kamu" kata Mira. "Embak, apa gak ada yang lebih susah dari pada itu?" lanjut Mira bertanya

"Ada kok" Jawabku

"Apa embak?" tanya Mira Lagi

"I Kill you" kataku sedikit melotot

"Artinya apa embak? Ko embak ngomongnya sambil melotot si? Artinya serem ya?" tanya Mira polos

"Ah sudahlah, cukup sampai di sini aja"

"Loh embak, ko cuma sebentar si? Trus dandannya gimana?" tanya Mira lagi yang membuatku pusing

"Dandan aja sendiri!!" cetusku lalu keluar rumah. Seperti biasa Mira haya tersenyum melihatku yang kesal.

Aku sempat berpikir untuk mencari seberapa seriusnya Candra menyukai Mira, belum jadian saja sudah menyusahkan orang lain, apalagi kalau sudah benar-benar jadian, mungkin aku akan ditendang dari rumahku sendiri oleh Mira tanpa memperdulikan suatu hak dan kepemilikan.

**

Candra usai menerima telphone dari seseorang. Setelah itu tertawa kecil sendiri di depan sebuah potho yang terpajang di kamarnya. Terkadang aku merasa dia aneh, aneh karena baru kali ini dia menyukai perempuan yang statusnya adalah seorang upik, setahuku dia memiliki selera yang tinggi dalam memilih pasangan, namun aku tak tahu dari segi mananya. Biarlah, biar dia yang tahu sendiri.

"Kmu masih betah tinggal di rumah nenek?" tanya seorang perempuan tua yang menghampiri Candra yang tidak lain adalah neneknya

"Eh nenek, pastinya Candra masih betah dong nek, apalagi di sini banyak perempuan-perempuan cantik, hehe" ujar Candra. Lalu sang nenek mencubit Candra yang genit

"Aww. . Sakit nek"

"Kmu tuh ya, nenek gak suka kalau kmu genit-genit sama perempuan"

"Ya ampun nek, Candrakan cuma bercanda, lagi pula aku udah gak mau genit-genit lagi sama perempuan lain, karna aku udah punya calon pacar" jelas Candra yang membuat nenek memeluknya karna merasa senang

"Nah gitu dong, tapi kmu jangan sampai asal-asalan cari pacar ya, dia harus cantik, baik, lembut dan pintar masak" tutur sang nenek. Candra sedikit terdiam

"Iya nek, nanti aku akan bawa dia ke sini, tapi sebelumnya jangan lupa doain aku biar bisa jadian sama dia"

"Nenek selalu doakan yang terbaik untuk kmu" ucap nenek lalu mencium kening Candra.

Tak ada yang lebih menyenangkan memang, selain bercanda gurau dengan teman dan pacar, dengan sanak saudara pun jauh lebih menyenangkan.

**

Rencananya hari ini aku akan pergi menemui teman-temanku, Ardi dan Ila, mereka berdua adalah sepasang kekasih. Aku ingin curhat kepada ke dua temanku itu tentang masalah yang kini menimpaku. Bagiku menjadi seorang perempuan yang rajin bersih-bersih dan memasak itu adalah masalah yang besar karna memang aku tidak biasa melakukan semua itu.

"Rie, memangnya si Mira itu secantik apa si? Ko si Candra sampai segitunya sma dia?" tanya Ila yang kutemui di Cafe bersama Ardi

"Cantik? Emmm.. Biasa aja si. Justru aku juga heran kenapa Candra bisa segitunya sama dia, sampai-sampai aku ngerasa jadi upik abu di rumahku sendiri" ujarku

"Loh? Kok bisa si Rie?" tanya Ila lagi yang sedikit pelupa

"Ya karna permintaan Candra minggu kemarin itu sebelum ke luar kota, aku kan pernah cerita soal ini sebelumnya La" jelasku

"Oh, ya ya ya. . Aku baru inget Ri. Keterlaluan banget si!" gerutu Ila. Aku hanya menghela napas kecil sembari memainkan sedotan dalam minumanku

"Kalian ngerasa gak si ada yang aneh sma Candra?" ucap Ardi membuka mulut

"Aneh? Maksud km apa?" tanyaku penasaran

"Ya aneh aja, kmu kan pernah bilang kalau Candra berubah semenjak kenal sma Mira kan? Nah, anehnya di situ Rie" sahut Ardi

"he'emm.. Itu juga yang aku pikirin" seruku

"Padahal ni, dulu Candra pernah bilang sama aku kalau dia suka sma kmu Rie" jelas Ardi yang membuatku sedikit kaget

"Apa? Candra pernah bilang sama kmu kalau dia suka sma aku?" sahutku tak pernah menduga

"Iya Rie, tapi gak tau ko sekarang dia suka sma si Mira itu ya?" ujar Ardi yang juga bertanya-tanya.

Percakapan kami pun semakin serius, tanda tanya bergelantungan di benakku. Apalagi ketika Ardi mengatakan hal itu. "Candra pernah menyukaiku, Tapi kenapa dia gak pernah bilang?" pikirku. Lantas aku tak mau sampai terlalu terlihat bingung di hadapan Ardi dan Ila, karna mereka berdua tidak tahu kalau aku pun menyukai Candra. Lalu aku memutuskan untuk mengajak Ardi dan Ila ke rumah untuk melihat seorang Mira yang baru bekerja dua bulan di rumahku.

Setibanya di rumah kami disambut dengan keadaan rumah yang berantakan, aku langsung emosi dan berteriak memanggil Mira.

"Miraaaa.. Kenapa rumah jadi kaya kapal pecah seperti ini siii.. Mira!" teriakku

"Sabar Rie, inget ini bukan di hutan" ujar Ila

"Ini emang bukan di hujan, tapi ini rumah aku La, liat aja berantakan kaya gini, gimana aku gak kesel coba?" kesalku. Tak lama Mira menghari

"Iya embak, ada apa?" tanya Mira pura-pura tidak tahu apa-apa

"Km nanya ada apa? Km gak liat rumah berantakan kaya gini? Km tuh di rumah ngapain aja si?" tanyaku tambah kesal melihat Mira tersenyum lebar

"Oh, ini, jangan marah dulu embak, kan embak sendiri yang bilang sma mas Candra kalau embak yang akan ngerjain semuanya termasuk membereskan rumah, iyakan, yasudah embak Mira mau ke kamar dulu lanjut isi TTS" celoteh Mira dengan mudahnya lalu pergi dari hadapanku

"What?!! Oh my Goood.." keluhku sembari melempar tas ke sembarang arah. Sementara Ardi dan Ila hanya terpaku melihat sikap Mira yang seperti majikan di dalam rumahku.

Aku benar-benar tak habis pikir akan merasakan menjadi seorang pembantu di rumahku sendiri, bermimpi mengalami hal seperti ini pun tidak pernah. Aku benar-benar sudah dipermainkan.

Ardi dan Ila yang sedari tadi hanya melihatku bersih-bersih tertidur di sofa depan televisi setelah menghabiskan beberapa bungkus snack dan ice kream yang ada di lemari es milikku. Satu jam sudah berlalu, keadaan rumah sudah sangat rapih dan bersih. Tiba-tiba saja perutku keroncongan, aku pun menuju meja makan untuk segera makan. Pelan-pelan kubuka benda penutup makanan yang ada di meja, alhasil aku kembali dikejutkan dengan pemandangan meja makan yang polos, tak ada makanan sedikit pun, lalu aku kembali berteriak sambil merengek.

"Aaaaa. . . Nyebelin banget si. Hik!" teriakku di ruang makan, aku duduk dan terus merengek seperti anak kecil. Mira yang diam-diam memperhatikanku hanya tersenyum.

Ardi dan Ila sudah pulang beberapa menit yang lalu setelah kubangunkan, Ila merasa khawatir melihat wajahku yang pucat karna tidak makan dan tidak mau pulang dari rumah untuk menemaniku, Namun aku meminta Ila untuk pulang saja.

Mira masih di dalam kamarnya, inginnya aku meminta dia untuk membuatkan makanan untukku, tetapi aku tidak mau, aku terlanjur kesal padanya dan membiarkan perutku kosong juga lemas. Lantas aku segera masuk ke kamar untuk istirahat. Sementara itu Ternyata Mira sedang menerima telephone dari Candra di dalam kamarnya.

"Iya mas, iya Mira baik ko mas"
..
"Embak Tarie ngelakuin apa yang mas suruh ko, iya mas tenang aja" Bla.. Bla.. Bla.. Entah apa yang tengah mereka bicarakan.

Tengah malam sekali aku terbangun karna perutku sudah benar-benar lapar, aku pun memutuskan untuk memasak sesuatu di dapur. Tapi sebelumnya aku meraih handphoneku untuk mengirimkan pesan kepada Candra.

"I Miss You.." pesanku

tak lama

"I Miss You Toooo.." balasnya.

Aku terdiam sebentar lalu berkata-kata di dalam hati "Ternyata Candra belum tidur, Percuma kamu bilang kangen balik sama aku Dra.. Karena kangen kamu sma aku hanya sebatas teman aja, hemmm".

Segera aku keluar kamar menuju dapur. Kubuka lemari es hanya ada dua butir telur, sementara persediaan snack sudah habis di makan oleh Ardi dan Ila. Aku pun bingung, aku tidak bisa memasak telur karna pasti akan memercikan minyak.

"Kenapa cuma ada telur si? Gimana dong?" keluhku.

Lalu dari belang ada yang penepuk pundakku yang tidak lain adalah Mira. Aku pun kaget, Mira tertawa kecil melihat reaksiku.
"Haha.. Embak ngapain tengah malam kaya gini di dapur? Embak Tarie laper ya?" tanyanya. Aku hanya menganggukan kepala, padahal tadinya aku ingin sekali marah

''Yasudah, embak tunggu sebentar ya, biar Mira yang masakin" ucapnya.

Selang beberapa menit kemudian makanan pun sudah ada di depan mataku. Kulihat Mira menyimpan Handphonenya di meja makan sementara Mira membuatkan susu coklat untukku, lalu handphonenya berbunyi tanda ada telephone masuk, kulihat sekilas siapa yang menelphonenya tengah malam seperti ini, "Candra?" gumamku, "Ngapain dia telpon malam-malam kya gini ke Mira? Aku angkat gak yaa.. Emmmh.. Angkat aja deh" lanjutku lalu kuangkat telephone dari Candra.

"Hallo" kataku

"Hallo, Tarie? Kenapa kmu yang angkat? Miranya mana?" Tanya Candra yang sama sekali tidak menanyakan kabarku

"Mi-Mira, Miranya lagi di kamar mandi, kalau gtu sory ya aku udah gak sopan, selamat malam!" kumatikan telephone dari Candra lalu aku geletakan handphone Mira kembali dan segera masuk ke dalam kamar lagi.

Aku benar-benar sakit hati dan sedih, Candra sudah tidak menganggapku ada, aku hanya dijadikan womansiter untuk Mira olehnya. Aku menangis di dalam kamar sementara makanan yang sudah disiapkan oleh Mira sama sekali belum aku sentuh.

Candra langsung menelphone Mira kembali pada waktu itu juga, wajahnya sedikit kebingungan, tak seperti pertama menelphone Mira tadi yang kuangkat.

"Halo, Mira?" sahut Candra

"Iya mas ada apa tengah malam menelphone Mira?" tanya Mira

"Apa Tari masih ada di situ?" tanya Candra

"Loh? Ko mas tau kalau embak Tarie ada di sini tadi?" tanya Mira balik

"Tadi yang angkat tlphone itu dia, sekarang mana dia?" tanya Candra

"Embak Tarienya masuk lagi ke kamarnya mas" ujar Mira

"Oh begitu, yasudah, selamat malam" Candra mematikan telephone begitu saja tanpa menunggu Mira membalas selamat malam darinya. "Kenapa mas Candra langsung mematikan telphonenya si? Padahal kan aku pengen ngobrol sma dia" celoteh Mira, lalu pandangannya tertuju pada makanan yang dibuatnya tadi, "Loh? Ko makanannya gak di makan si? Ah biarin ajalah, kalau embak Tarie sakit bukan salahku, huh!" ujarnya.

Aku tak lagi merasakan kelaparan, rasanya aku sudah kenyang dengan sikap Candra.

**

"Sial! Sial! Sial! Knapa tadi aku langsung menanyakan Mira? Pasti Tarie marah banget sama aku, gimana aku bisa lupa kalau Tarie itu orangnya sensitive banget, aku harus pulang, ya!" seru Candra setelah menutup telephonenya tadi.

Candra memperhatikan gambar yang ada di layar handphonenya, seorang perempuan. Dia pun segera merapihkan bajunya ke dalam ransel untuk rencananya kembali ke jakarta.

Pagi pun menjelang, Candra menemui neneknya yang sedang menikmati secangkir teh di belakang rumah.
"Nek" sapa Candra.

"Ya" diam sebentar sembari memperhatikan Candra yang sudah rapih dan membawa ransel, "Kamu mau kmana?" tanya nenek

"Candra mau pulang nek" ujar Candra

"Loh! Kamu bilang masih betah, ko tiba-tiba sekarang mau pulang? Ada apa?" tanya nenek sedikit khawatir

"Gak ada apa-apa ko nek, Candra kangen sma teman-teman Candra yang di jakarta , gak apa-apa kan kalau aku pulang sekarang?" tanya Candra lagi

"Ya gak apa-apa dong, masa nenek mau ngelarang kmu pulang si, tapi ingat ya, kmu harus kesini lagi dan kenalin calon pacar kmu itu sma nenek"

"Pasti nek, Aku pasti akan bawa dia ke sini. Oiya nek, aku titip potho dia di kamar ya"

"Potho? Memangnya kmu simpan pothonya di kamar? Ko nenek belum pernah liat ya?"
tanya neneknya lagi

"Iya nek, aku simpan pothonya di kamar, hehe. Yasudah kalau gtu aku pergi dulu ya, jaga diri nenek baik-baik, dah"

"Ya, hati-hati di jalan ya, salamkan nenek pada mamah dan papahmu"

"Iya..". Candra pun segera pergi.

**

Kalau saja hatiku terbuat dari besi dan baja, maka aku tak akan pernah perduli sampai di mana Candra membuatku sesedih seperti sekarang ini karna perubahan sikapnya semenjak mengenal Mira padaku.

Hari ini aku, Ila dan Ardi kembali bertemu di tempat kemarin, kali ini aku benar-benar menangis di hadapan mereka akan sikap Candra yang keterlaluan itu. Ila merangkul tubuhku, Ardi yang juga diam-diam mencuri kesempatan memembelai rambutku, tapi ketahuan Ila yang akhirnya kaki Ardi di injak oleh Ila, dan Ardi pun kesakitan.

"Hik.. Aku udah gak mau lagi liat Mira, aku kesal sama dia, aku benci" rengekku

"Mira kan gak salah Rie, yang salah itu si Candra yang nyuruh kmu ngelakuin ini dan itu buat Mira" seru Ila

"Iya Rie, Ila bener. Tapi kenapa si waktu itu kmu mau aja di suruh Candra buat ngelakuin ini semua?" tanya Ardi

"Ya karna aku cinta sama dia.." jelasku tak menyadari apa yang kukatakan tadi adalah rahasiaku yang sudah lumayan lama kusimpan. Lantas Ila dan Ardi pun terkejut mendengar pengakuan tak disengajaku itu

"Apaaa?? Kamu cinta sama Candra?" sahut Ila dan Ardi secara bersamaan. Aku pun tak bisa membohongi mereka, karna biar bagaimanapun mereka adalah teman baikku

"Iya, aku udah lama cinta sma Candra.. Tapi Candra gak pernah ngerasain apa yang aku rasain, terus waktu Ardi bilang kalau Candra pernah suka sma Aku, aku jadi tambah berharap, tapi kan sekarang dia sukanya sama Mira, hik!" keluhku dalam isakan tangis

"Cup cup cup, udah kmu jangan nangis lagi. Tadi pagi Candra sms aku, katanya hari ini dia mau pulang" seru Ardi yang membuatku berhenti menangis

"Apa? Candra mau pulang? Ko dia gak ngabarin aku si? Tukan dia udah lupa sma aku!" sahutku

"Ssstt.. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya, gak enak tuh diliatin sma yang lain. Mungkin dia mau bikin surpice buat kmu Rie" uja Ardi

"Buat Tarie apa buat Mira?" celoteh Ila yang membuatku semakin kesal, sementara Ardi hanya menghembuskan napas kecil sembari menepak jidatnya

"Aku minta sma kalian jangan pernah bilang sma Candra kalau aku cinta sma dia, karna itu hanya akan membuatku ditertawakan olehnya" pintaku kepada Ila dan Ardi, mereka hanya menganggukan kepalanya.

Sementara itu ternyata Candra sudah sampai dan sekarang sudah ada di depan pintu rumahku di saat aku sedang tidak ada di rumah. Beberapa kali ia mengetuk pintu rumahku barulah dibuka oleh Mira

"Loh, mas Candra sudah pulang? Ko gak ngasih kabar ke Mira mas? Mari masuk mas" seru Mira yang senang akan kepulangan Candra

"Iya maaf Mir, aku mendadak pulang karna ada sesuatu" ujar Candra yang kini tengah duduk di sofa

"Sesuatu? Emm.. Memangnya sesuatu itu apa mas?" tanya Mira yang penasaran

"Soal Tarie" jelas Candra yang membuat Mira sedikit kecewa

"Oh, oiya mas, kenapa kita gak jadian aja?" tanya Mira lagi yang berharap

"Apa? Jadian? Mira, apa kmu lupa? Kita ini kan cuma pura-pura saling suka, gak lebih dari itu" jelas Candra

"Iya Mira tau mas, tapi kenapa juga harus pura-pura?" ujar Mira yang membuat Candra bingung

"Maksud kmu apa si?" tanya Candra

"Jujur mas, sejak pertama kita ketemu, Aku langsung jatuh cinta sma mas Candra, dan waktu mas Candra minta aku berpura-pura di depan embak Tarie itu aku berharap mas benar-benar suka sma aku" jujur Mira membuat Candra sedikit terdiam dan tak tahu harus berkata apa

"Mir. . Mira, aduh gimana ya ngomongnya. Kmu kan tau kalau aku suka sma Tarie, dan maafin aku kalau aku cuma menganggap kmu teman aja, gak lebih dri itu, kmu ngerti kan?" jelas Candra

Mira terdiam dan tertunduk kecewa, lalu Candra mendekati Mira sambil mengenggam tangan Mira, "Mira, aku gak ada maksud untuk mempermainkan hati kmu, dari awal aku udah cerita kalau aku suka sma Tarie, dan aku minta kita pura-pura suka karna aku mau tau reaksi Tarie ketika sikapku begitu terlihat perduli dan sayang sma kmu, bukan hanya itu, aku ingin sekali Tarie tidak terlalu manja, aku tidak mau Tarie kerjanya hanya shoping, main, tidur dan makan saja. Aku kagum sma kmu karna kmu itu perempuan yang mandiri Mira, dan aku mau Tarie bisa seperti kmu, karna suatu saat nanti jika aku bisa menikah dengannya, aku ingin sekali merasakan makanan buatannya sendiri" jelas Candra yang membuat Mira mulai mengerti

"Ya Tuhan, ada apa denganku ini? Aku gak boleh ngerebut mas Candra dari embak Tarie" batin Mira berkata-kata, "Maaf mas, aku minta maaf" seru Mira

"Iya, kmu gak salah ko, aku berterimakasih karna kmu diajak krja sama. Oiya, Tarie kemana?' tanya Candra

"Embak Tarie sedang keluar mas, tapi tadi sempat bilang katanya embak Tarie mau temuin teman-temannya, kalau gak salah mas Ardi sama embak Ila, mas" ujar Mira

"Oh yasudah, kayaknya aku tau mereka ada di mana, kalau gtu aku pergi dulu ya Mir"

Baru saja Candra akan keluar rumah, aku, Ardi dan Ila sudah masuk ke dalam rumah duluan, dari Cafe tadi aku mengajak Ardi dan Ila lagi ke rumah hari ini. Lantas aku pun terkejut akan kehadiran Candra yang yang sudah ada di dalam rumahku bersama Mira. Pikiran negativeku merajarela kemana-mana, tak kusadari air mata pun menetes di hadapan Candra yang menatapku tanpa kata, tak lama setelah itu Candra mencoba memelukku, namun aku menghindar

"Sedang apa kalian di rumahku? Dan kenapa kamu gak bilang sma aku kalau kmu mau pulang?" seruku sembari menangis, Ila mengusap pundakku. Mira yang berdiri di belakang Candra terlihat serba salah

"Mira! Kenapa kmu juga diam aja? Apa yang sudah kalian lakukan di sini?" tanyaku ngotot

"Demi Tuhan embak, Kita gak ngelakuin apa-apa" jawab Mira

"Bohong! Kalian berdua bohong!" aku pun mulai marah karena tak percaya

Ardi meraih tanganku dan mencoba menjelaskan, "Rie, Mira gak bohong, kita gak ngelakuin apa-apa seperti yang kmu pikirkan Rie, aku baru sampai ko di sini, dan tadi itu aku mau keluar lg nyari kmu" jelas Candra, tapi aku tetap tak percaya, "Rie, jujur aku tuh sayang sama kmu, aku cinta sma kmu" seru Candra membuatku menangis dalam ke tidak percayaan

Pakk!!

Aku menampar Candra di hadapan Mira, Ardi dan Ila, mereka pun terkejut. Candra yang mulai terlihat berkaca-kaca pun terlihat terkejut aku akan melakukan hal seperti itu, "Kalau kmu sayang dan cinta sma aku, lalu ada hubungan apa kmu sama Mira? Bukannya kmu lebih perduli sma Mira dari pada sma aku yang kmu anggap seperti pembantu!" cetusku lalu berlari keluar rumah dalam keadaan menangis dan sakit hati

"Tarieee. . Dengerin penjelasan aku" teriak Candra yang tak kudengar. Ardi dan Ila merasa serba berada diantara masalah asmara orang lain

"Embak Tarie.. Tunggu Mira embak, embak belum tau yang sebenarnya" teriak Mira yang juga berlari mengejarku. Karena penasaran apa yang sebenarnya belum kuketahui, akhirnya aku berhenti berlari dan menoleh ke belakang

"Apa? Apa yang belum aku ketahui tentang hubungan kalian? Hah!" tanyaku emosi

"Embak, embak harus tau kalau mas Candra hanya berpura-pura menyukai Mira, dan Mira juga hanya berpura-pura menyukai mas Candra, sebetulnya mas Candra sayang dan cinta sama embak Tarie, gak ada maksud mas Candra membuat embak layaknya pembantu seperti Mira, mas Candra bilang sama Mira kalau suatu saat nanti embak Tarie jadi istrinya, mas Candra mau makan masakan buatan embak Tarie. Mas Candra orangnya baik embak, percaya sama Mira embak, kita gak ada hubungan apa-apa, suer embak" jelas Tarie membuatku terdiam dan berkata-kata di dalam hati, "Apa benar seperti itu?".

"Benar Tarie, apa yang Mira omongin tadi benar, aku sayang dan cinta sma kmu, dari dulu dan sampai sekarang, kalau memang aku tak pantas untuk jadi pasangan hidup kamu hanya karena kesalahfahaman yang fatal, maka aku gak akan maksa kamu untuk jadi calon istri aku" seru Candra di belakang Mira yang disusul oleh Ardi dan Ila. Candra menghampiriku lalu memelukku, kini air mataku terjatuh ke bahunya tempat sekarang aku menangis, "Tapi kenapa kmu buat aku seperti pembantu? Aku tuh bukan Upik, hik" rengekku kembali membahas pokok permasalahan

"Iya iya, maafin aku ya, aku akui aku emang salah" ucap Candra sembari membelai rambutku, kubalas pelukan Candra dengan erat, "Jadi kamu maukan jadi Calon istri aku?" tanya Candra berbisik, lalu kujawab dengan menganggukan kepala lalu tersenyum dibalik pelukannya, "Makasih ya Rie, makasih banget, aku sayang kamu bukan karena kamu gak bisa apa-apa, aku sayang karena sama kamu karena kamu istimewa buat aku" ujar Candra membuatku merasa menjadi perempuan yang paling beruntung. Mira tersenyum, Ardi dan Ila juga merasa bahagia melihatku dan Candra bisa menjadi sepasang kekasi

"Oiya, kmu pasti sudah pintar masakkan? Minggu depan aku mau kenalin kmu sma keluarga aku, terutama sma nenek aku yang di luar kota, kmu maukan?" ajak Candra

"Emm. . Masak?" ujarku sedikit melirik ke arah Mira dan tersenyum, "Iya aku udah bisa masak, tapi aku ajak Mira ya, soalnya Mira harus bantuin aku buat masakin makanannya, hahahaha" seruku

"Hahaha. . Huu dasar" seru Candra yang menyubit hidungku.

Mira dan yang lainnya pun ikut tertawa melihat kemesraanku dan Candra. Aku tak pernah menyangka sebelumnya, cinta ini yang kupikir akan bertepuk setengah dari sebelahnya tangan akan benar-benar hancur, tapi ternyata rencana Tuhan jauh lebih indah dari apa yang kupikirkan selama ini.

Kini aku sudah merasakan bagaimana memperjuangkan perasaan cinta dengan pengorbanan pisik dan mental menjadi seorang yang mandiri.

TAMAT
BOGOR, 24/04/2014

Kamis, 20 Maret 2014

CERPEN:~Dia Bukan Untukku~


Penulis: Niaw ShinRan

Present..

Apalah arti sebuah umur, jika cinta datang tak pernah mengenal pada siapa dan di mana, hakikatnya ketulusan disetiap hati semua insan pasti ada.

**

Perasaan yang kumiliki semenjak pertemuan pertama itu. Dia gadis remaja yang cantik, dan mampu membuatku jatuh cinta, entah jatuh cinta untuk yang keberapa kalinya. Aku lelaki pantas tuk mencintai, pantas tuk memilih, pantas tuk memiliki cinta. Yang kita semua ketahui bahwa kehadiran cinta adalah anugerah.

Awalnya kutak pernah menyangka, hasrat yang kurasa tertanam untuknya-Rena, si gadis remaja yang cantik, dia masih duduk di kelas dua SMA. Sementara aku, umurku saja sudah berkepala tiga. Pantaskah aku memiliki hasrat yang special terhadapnya yang lebih pantas kuanggap adik?
Semua kukembalikan lagi pada kepercayaan diri ini dan jalan Tuhan untukku nanti.

Pertama aku mengenalnya di pertigaan jalan itu amat teramat mengesankan, di mana dia tersenyum kepadaku sembari mengambilkan dompetku yang terjatuh. Kupikir dia akan memanggilku dengan sebutan Mas atau Kaka, tapi ternyata dia memanggilku dengan sebutan Om. Apakah aku terlihat tua dari pada umurku? Ah, mungkin kumis tipisku membuatku terlihat tua, apalagi styleku pada waktu itu memakai seragam kantor, Hahaha pantas saja. Jujur saja ingin kuulangi pertemuan itu di sana.

Sepertinya Tuhan memihak padaku, entah bagaimana aku kembali bertemu dengannya, si gadisku yang cantik di tempat yang berbeda. Siang itu ban motorku tiba-tiba saja bocor, lalu kudorong ke bengkel langgananku yang tidak jauh dari kantor.

"Motornya kenapa lagi bang?" tanya Maman selaku pemilik bengkel

"Biasa ni Man, tiba-tiba bocor, tolong dibenerin deh. Saya buru-buru nih" ujarku meminta Maman untuk segera memperbaiki ban motorku.

Dari sisi kanan pandanganku tersita oleh kehadiran dua siswi SMA yang mendorong sepeda motor. Kuperhatikan salah seorang dari ke dua siswi itu sepertinya ada wajah yang tak asing lagi kulihat. Si gadis cantik berambut sebahu, kulitnya putih juga senyumannya yang begitu manis.

"Rena.." sahutku menyapanya.

Rena terlihat keheranan memandangku, kurasa dia lupa akan wajahku yang memang waktu itu pertemuan pertamaku dengannya hanya sekejap mata memandang.

"Siapa ya? Kok Om tau namaku Rena?" tanya Rena dengan mengkerutkan keningnya

"Namamu tertulis di baju seragam sekolahmu, ituh!" ucapku

"Oh, ya ya ya. . Tapi apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Rena lagi

"Tentu, minggu kemarin kamu mengambilkan dompet saya yang terjatuh di pertigaan jalan sanah, kamu ingat?" seruku menunjuk.

Rena diam sejenak sembari mengingat-ingat, sementara pandanganku tak pernah berpaling dari wajahnya.

"Ohhh.. Ya! Rena baru inget Om. Lain kali hati-hati ya Om, coba kalau gak ada aku? Pasti dompet Om sudah diambil orang" ujarnya

"Hahaha, iya, terimakasih ya. Oiya, motor kamu kenapa?"
tanyaku lagi memperpanjang pembahasan, karna kutakut tidak akan bisa mengobrol panjang dengan sang pujaan hatiku.

"Ban motorku bocor Om. Motor Om sendiri kenapa?" tanya Rena

"Sama, ban motor saya juga bocor" diam sejenak sembari mengambil sebuah kartu nama di dalam saku bajuku "Ini kartu nama saya, kapan-kapan kita bisa ngobrol bareng kan?" tanyaku memberikan kartu nama.

Ketika Rena hendak akan mengambil kartu namaku tiba-tiba saja temannya menarik tangan Rena lalu berbisik kepadanya "Na, lo jangan kena tipu sama tipe om om kaya dia, jangan-jangan lo mau dijadikan gula-gulanya dia" bisik temannya yang bernama Laras. Lalu dengan cepat Rena mempercayai temannya dibandingkan harus mengambil kartu namaku.

"Ma-maaf om, aku gak bisa ambil kartu nama om, sebaiknya om simpan lagi saja" ucapnya membuatku sedikit kecewa. Tanpa banyak bertanya lagi kenapa, aku pun menyimpan kartu namaku ke dalam saku bajuku lagi.

"Bang! Motorku sudah siapa pakai lagi nih" seru Maman

"Oke, thanks ya Man. Kalau begitu Saya duluan ya Rena" ujarku menatap Rena, sementara itu Rena hanya sedikit melihatku kemudian membuang muka.

Menjadi sebuah tanda tanya besar memang, kenapa Rena tidak mau menerima kartu nama dariku dan apa sebabnya? Entahlah, kurasa Rena tidak ingin mengenalku lebih jauh lagi, apalagi dimatanya aku hanyalah seorang Om-om, Oh My God!

**

Malam ini kulihat langit tak menampakan bintang, kupikir tengah malam nanti akan turun hujan, karna suara petir sudah menyambar sana-sini. Malangnya seorang anak kosan sepertiku ini memang terasa menyedihkan, disaat kedinginan tak ada yang menghangatkan dan disaat kelaparan tak ada pula makanan kalau tidak memasak sendiri, jalan lainnya adalah pergi ke warung makan. Kebetulan hari ini aku tidak masak, perutku mulai kelaparan setelah membereskan kamarku dari bungkus-bungkus makanan ringan yang kubeli kemarin malam.

"Kalau aku gak keluar cari makanan yang ada nantiaku kelaperan dan gak bisa tidur nyenyak. Hah! Ya Tuhan, aku bermunajat padamu agar segera dekatkan aku dengan jodohku.. Pengennya si sama Rena, bisa gak?" celotehku. Ternyata Rena mampu membuatku berangan-angan.

Lantas aku pergi ke luar rumah untuk mencari makanan bersama teman satu kamar, Rendi namanya, ia baru lulus SMA dari kampung yang bekerja di kota menjadi seorang OfficeBoy di kantor tempat aku bekerja.

"Mau makan apa Ren?" tanyaku setibanya di rumah makan

"Aku gak makan di sini ah mas, mau dibungkus saja untuk di kosan nanti" serunya

"Yasudah kalau gitu kamu pesan saja dulu sekalian untuk saya juga ya, biar nanti saya yang bayar" ucapku

"Yang bener mas? Memangnya mas Dika mau makan apa?" tanya Rendi

"Samakan saja dengan kamu, saya mau beli rokok sebentar di sana ya" seruku, Rendi menganggukan kepala lalu segera memesan makanan.

Aku berjalan menuju sebuah warung kecil untuk membeli rokok dan kopi untuk persediaan nanti malam, tadinya kupikir hujan tidak akan turun sekarang, tapi nyatanya gerimis mulai beriringan dan hujan pun turun begitu deras. Kulihat Rendi dari jauh sepertinya sudah memesan makanan, terbukti dari kantong kresek putih yang berisikan makanan kini ada ditangannya, aku mencoba melambaikan tangan pada Rendi, bermaksud agar ia tetap di sana sampai hujan reda, Rendi pun melihatku dan mengerti apa maksudku.
"Kenapa hujannya turun tiba-tiba begini si?" pikirku, lalu kuambil satu batang rokok untuk kuhisap. Beberapa menit kemudian aku mulai kedinginan.

Hujan semakin deras, sorot pandangan ke arah jauh pun semakin tak jelas, kuarahkan lagi pandangan ini pada Rendi, kulihat ia tak sendiri, melainkan sedang berdiri berdua dengan seorang perempuan, tak kulihat jelas wajah perempuan itu karna derasnya hujan. Tak lama kemudian ada seorang laki-laki yang menghampiri Rendi dan perempuan itu dengan membawa payung, lalu perempuan itu pergi meninggalkan Rendi bersama laki-laki yang membawa payung itu. Masih kuperhatikan Rendi di sana, sepertinya ia mulai pegal lalu terduduk di kursi yang memang sudah disediakan untuk pembeli.

Tiga puluh menit sudah berlalu, hujan pun sudah tidak terlalu deras seperti tadi, kupaksakan diri untuk berlari menuju Rendi yang masih mematung di sana.

"Ada apa mas? Inikan masih hujan" seru Rendi setibanya aku didekatnya menerjang hujan

"Saya sudah lapar sekali Ren" ujarku sambil memegang perut

"Iya mas, aku juga" diam sejenak mengetahui hujan sudah hampir reda "Kita pulang saja mas, hujannya sudah mau reda ko" ucap Rendi

"Baiklah, sebentar, saya mau bayar makanannya dulu, kalau langsung pulang disangkanya kita rampok lagi" gurauku, Rendi tertawa kecil.

Sesampainya di kosan, aku dan Rendi langsung menyantap makanan tadi dengan lahap. Sepertinya mata ini sudah tak bisa diajak kompromi setelah menghabiskan makanan tadi. Aku segera membaringkan tubuhku yang lelah ini. Baru beberapa menit aku tertidur terdengar suara Rendi yang tengah mengobrol lewat handphonenya. Tak ada maksud untuk menguping, tapi posisiku memang ada di samping Rendi.

"Yang tadi itu siapa?"
..
"Iya, yang menjemputmu"
..
"Ohh pembantu di rumah ya, kupikir pacarmu. Hahaha"
..
"Iya maaf, aku kan gak serius, oiya, kamu sekolah di mana?"
..
"Gak jauh dari kosan aku dong, kamu pasti salah satu murid yang tercantik ya di sekolah?"
..
"Yee aku gak gombal, kamu memang cantik ko"

Bla bla bla.. Seperti itulah percakapannya, hanya saja aku tak tahu apa yang dikatakan oleh teman obrolannya itu. Teringat akan masa-masa seperti di mana aku masih berumur belasan tahun yang lalu, aku pun sama seperti Rendi, senang mengobrol malam lewat handphone dengan perempuan yang kusuka. Dulu semasa SMA, perempuan yang kusukai namanya Nia, Nia Kurnia Sari. Namanya cukup pasaran, namun sikapnya yang sedikit jutek tak ada di pasar manapun, hehe. Kita satu angkatan, hanya saja berbeda kelas, bukan hanya sekedar suka ketika aku melihat senyuman dibalik sikap dinginnya, tetapi kekagumanku pada sisi keromantisannya yang ditulis dalam selembar kertas, ditulisnya puisi cinta setiap hari lalu ditempel di dinding mading sekolah. Ya, aku suka dia yang jutek tapi romantis. Rasa itu berubah menjadi benih cinta yang tersirat dalam hatiku, tapi bodohnya aku yang tak pernah mengatakan perasaanku ini padanya, hingga pada saat-saat kelulusan tiba, dia menghampiriku dan memintaku berpotho bersama untuk kenang-kenangan, katanya. Kini aku hanya bisa mengenangnya lewat potho yang sudah lama kusimpan.

**

Sebenarnya aku tak pernah mengerti mengapa aku bisa menyukainya, Rena. Dia memang cantik, manis, manis dan banyak manisnya. Ah entahlah, yang pasti aku tengah Falling in love padanya.

Pagi-pagi sekali sudah ada telphone masuk, kuraih handphoneku dalam keadaan mata yang setengah terpejam.
"Halo.. Emm.. Ada apa? Kaka masih ngantuk ni" ... "Apaa!!" seruku segera membuka mata dan bangun setelah mendengar kabar dari adik perempuanku yang mengatakan kalau ibu sedang sakit. "Iya iya. . . Kaka segera ke sana sekarang, kamu jagain ibu ya" Tuuut.. Kumatikan dan segera bersiap-siap pulang menemui ibu.

Tak kuhiraukan Rendi yang masih terlelap. Kutinggalkan pesan singkat yang kutulis dan kuselipkan dibagian sisi cermin, berharap bila Rendi terbangun nanti bisa membaca pesanku itu.

Aku segera keluar pergi dengan mengendarai sepeda motorku. Lampu merah menghentikan laju motorku, disaat aku sedang gelisah memikirkan ibuku yang sedang berada di rumah sakit, tiba-tiba dari sisi kananku ada seseorang yang juga menghentikan sepeda motornya karna lampu merah, seseorang itu adalah perempuan, wajahnya sedikit tak terlihat jelas karna dia memakai helm, tapi dari sepeda motor yang dibawanya seperti tak asing lagi dibenakku, berwarna putih bergambarkan kartun Doraemon. Kuingat-ingat siapa pemilik sepeda motor itu. "Rena.." pikirku. Hendakku sapa dia, namun sepeda motornya melesat membawanya pergi beriringan dengan kendaraan yang lain. Hatiku mendadak berdebar-debar, karna dari belakang ada mobil yang membunyikan klakson beberapa kali, jelas saja itu membuatku sedikit kaget, belum lagi celotehan si pengendaranya yang pedas, malangnya aku.

Kuhilangkan sejenak bayangan Rena di benakku untuk fokus mengendarai sepeda motor agar cepat sampai ke tempat tujuanku, Bogor, tepatnya ke rumah orang tua. Aku dilahirkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara bersama Danti, ia baru duduk di bangku kelas dua SMA sama seperti Rena, si gadis cantik itu.

Rupanya Rendi sudah bangun dan sedang membaca pesanku itu. "Rendi, saya harus pulang ke Bogor karna ada sesuatu yang penting, saya cuti selama satu minggu, kamu jaga diri baik-baik. DIKA" Gumam Rendi yang membaca suratku itu. "Tiba-tiba sekali.." ujarnya. Lalu bergegas berangkat kerja.

Sudah hampir satu tahun aku tidak pulang ke rumah, hanya lewat ponsel sajalah aku bisa menghubungi keluargaku. Sesampainya di Bogor, tiba-tiba ada yang menghentikan laju motorku, dia perempuan, kalau tidak salah namanya Euis, perempuan yang selalu mempropokator ibu untuk menikahkan aku dengannya, hanya dengan bermodalkan harta orang tuanya Euis menjanjikan ini dan itu kepada ibu.
"Awaaas..." ... "Kamu cari mati ya?" seruku marah-marah

"Kang Dika, Eh si akang kunaon atuh meni galak pisan sama Euis. Euis teh tadi liat motor akang dari jauh, Euis teh seneng akang udah pulang, jadinya Euis berhentiin aja motor akang" jelas Euis sambil merangkul tanganku

"Euis! Kamu gak malu apa? Tuh diliatin sama banyak orang kamu ngerangkul-rangkul tangan saya, nanti dikiranya kita ada apa-apa lagi" risiku sembari melepaskan genggaman tangan Euis

"Ih ari akang teh kenapa dari dulu sampai sekarang gak pernah manis sama Euis. Memangnya teh kenapa kalau diliat sama orang-orang? Kitakan mau nikah" seru Euis semakin membuatku tambah risi. Aku tak mau banyak bicara lagi lalu segera menjalankan sepeda motorku lagi.

"Akaaaang.. Kang Dika jangan tinggalin Euis atuh kang, akaaaang" teriak Euis sambil melambaikan kedua tangannya.

Aku tak pernah menyalahkan Ibu perihal permintaan Euis yang ingin menikah denganku dengan menjanjikan ini dan itu kepada ibu, semampuku berusaha untuk meyakinkan ibu kalau aku pasti bisa memberikan apa yang ibu inginkan dengan hasil kerja kerasku sendiri tanpa harus mencari kesempatan dalam keadaan yang membuatku serba salah. Setibanya di rumah aku langsung di sambut dengan pemandangan yang membuat tubuhku gemetaran dan tak sanggup untuk melihat semuanya, kibaran bendara kuning itu membuat air mataku menetes, pikiranku langsung tertuju pada ibu, setelah kepergian ayah lima tahun yang lalu membuat keluarku mengalami resiko ekonomi yang menurun drastis. Aku terlambat, Kini di hadapanku sudah ada ibu dengan penutup tubuhnya dengan wewangian yang membuatku tambah tak bisa membendung air mata ini. Isak tangis terdengar dari suara serak Danti, aku langsung terduduk merangkulnya dan menenggelamkan isakan tangisnya di dadaku.

"Ibu ka.. Ibu sudah meninggal, hik.. Ibu ninggalin kita" pilu Danti

"Kita harus kuat Danti, kita gak boleh terlalu lama menangisi kepergian ibu, kita harus terima semua ini" ujarku berusaha menenangkan Danti

"Iya ka.. Danti akan berusaha nerima semua ini"

Danti masih dalam pelukanku. Aku gagal untuk membahagiakan kedua orang tuaku semasa mereka hidup, sebagai anak pertama aku harus bisa menjadi orang tua pengganti untuk adikku, aku harus menjadi seorang anak yang berbakti walau keadaannya sudah tak lagi sama seperti di mana dulu aku yang dirawat oleh ibu dan ayah.

**

"Hay Rendi, maaf ya kamu jadi lama nungguin aku" seru seorang perempuan yang sudah mengenal Rendi

"Gak apa-apa ko, baru aja beberapa menit" ujar Rendi tersenyum. Mereka janjian untuk makan siang bersama tempat di mana mereka pertama bertemu. Mereka mengobrol, saling bertanya, bercanda dan tertawa bersama.

"Rumah kamu di mana?" tanya perempuan itu

"Aku di jakarta ngekos, dan baru tiga bulan ini aku bekerja" jelas Rendi. Perempuan itu tersenyum dan berkata "Oh".

Tak lama kemudian ada seorang perempuan yang menghampiri mereka yang tidak lain adalah teman dari perempuan kenalan Rendi.

 "Ternyata lo di sini?" ... "Eh, sory sory, aku ganggu ya, kalau gitu aku balik lagi aja kali ya. Hehe.. Dah.. Sory loh udah ganggu" seru perempuan yang menghampiri itu, tak lama kemudian ia pergi kembali dengan meninggalkan kesan yang berbeda dimata Rendi. Bayangan perempuan itu menjadi hiasan di dalam benak Rendi.

"Dia itu siapa?" tanya Rendi

"Dia teman satu kelasku, hehe. Dia emang seperti itu, sedikit aneh" ujar temannya Rendi

"Aneh? Eng.. Dia cantik ya" jelas Rendi membuat teman perempuannya bisa langsung menebak sesuatu

"Kamu suka sama dia? Dia lagi jomblo ko.."

"Mungkin iya, mungkin juga cuma perasaan yang wajar aja, tapi kalau kamu gak keberatan, boleh aku deketin dia?" pinta Rendi

"Tentu aja boleh dong, dia pasti suka sama kamu, karna dia itu lagi nyari cowo yang apa adanya, kaya kamu gitu" seru temannya Rendi

"Oiya..?" tanya Rendi, lalu temannya mengganggukan kepala dan tersenyum. Sepertinya Rendi benar-benar tertarik pada perempuan yang sepintas ada di hadapannya tadi.

**

Satu minggu setelah meninggalnya ibu, aku berencana untuk membawa Danti tinggal bersamaku di kota dan meneruskan sekolahnya di sana. Namun Danti tidak mau ikut bersamaku, katanya ia tidak mau meninggalkan rumah satu-satunya peninggalan ibu dan ayah. Lantas aku tak mau memaksanya, lalu kuminta kepada Danti untuk jaga diri baik-baik selama aku bekerja di kota.

"Iya ka.. Setelah lulus sekolah nanti Danti akan ikut kaka ke kota dan bekerja di sana" seru Danti yang mengantarku keluar rumah untuk kembali ke kota

"Yasudah kalau begitu kaka pergi dulu ya, kaka percaya ko sma kamu.. Jangan nakal ya, assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Dengan cepat laju motorku pergi dari hadapan Danti, aku tahu Danti belum benar-benar ingin aku pergi, aku tahu setelah ini dia akan menangis selama beberapa menit lamanya. Apa boleh buat, aku harus kembali ke kota.

Masa depan yang tak kuketahui akan seperti apa menjadi salah satu motivasi hidupku untuk berusaha melakukan yang terbaik untukku dan untuk masa depanku. Apalagi masalah jodoh, aku sangat hati-hati akan masalah itu, aku ingin memiki pasangan hidup yang benar-benar bisa mengurusku, berandai-andai akan memiliki seorang istri yang sempurna memang menyenangkan, apalagi yang menjadi istriku nanti adalah si Gadis cantik itu, Rena.
Setibanya aku di kosan, nampak ada Rendi yang baru saja pulang kerja.

"Baru pulang kerja?" seruku mengagetkan Rendi yang tidak menyadari kedatanganku

"Eh, mas Dika kapan pulang? Ko gak ngabarin aku dulu? Kan bisa aku siapin?"

"Memangnya kamu mau siapin apa untuk saya? Makanan? Masak air aja gosong! Hahaha" ledekku

"Mas Dika ini bisa aja, akhirnya suasana kamar ini kembali menyenangkan, semenjak mas Dika pergi kamar ini jadi sepi dan gak ada yang masak lagi, haha" balas ledek Rendi "Oiya Mas, memangnya ada keperluan apa ko tiba-tiba pulang ke rumah sampai-sampai cuti kerja selama satu minggu?" tanya Rendi lagi. Aku kembali teringat almarhum ibu, jelas saja, satu minggu yang lalu ibuku telah tiada.

"Ibu saya meninggal" jelasku

"Aku turut berduka cita mas, mas yang sabar ya"

"Iya.." ... "Kalau begitu malam minggu ini saya mau istirahat saja, kalau km mau keluar jangan lupa bawa kunci pintu, karna saya pastikan tidak akan mau membukakan pintu kalau km pulang nanti. Hahaha"
ledekku lagi

"Hahaha, siap!" ujar Rendi.

Sesudah selesai mandi dan bersih-bersih aku langsung merebahkan tubuhku ini untuk beristirahat, perjalanan tadi membuatku lelah dan letih. Malam ini adalah malam minggu yang paling suntuk dalam sejarah hidupku. Terpenjara di dalam kamar kos sendirian, seperti yang telah kukatakan tadi kepada Rendi, kusuruh dia mengunciku dari dalam dan membawa kuncinya, alhasil malam ini aku terbangun dalam suasana kamar yang membosankan. "Kenapa juga aku nyuruh si Rendi kunciin aku di kamar seperti ini? Hmm.. Udah hampir jam sebelas malam, kenapa Rendi belum pulang juga ya?" celotehku sembari melirik jam dinding. Karna merasa bosan, lantas aku tidur kembali meneruskan mimpi yang sempat tertunda tadi, mimpi bisa mengajak Rena pergi kesuatu tempat yang indah di mana aku akan mengutarakan perasaanku padanya.

Pagi menjelang, cahaya matahari yang masuk ke sela-sela jendela menyilaukan mataku, aku pun terbangun. Di samping kasur kulihat ada Rendi yang juga baru terbangun dari tidurnya, aku penasaran kemana perginya dia semalam.

"Semalam pulang jam berapa?" tanyaku

"Eh Mas Dika, maaf mas, semalam aku pulang agak malam" seru Rendi

"Iya tidak apa-apa, memangnya kamu kemana saja?" tanyaku lagi penasaran

"Semalam aku menemui seseorang mas" jelasnya

"Seseorang? Perempuan?" tanyaku semakin penasaran

"Iya mas, semalam aku nembak dia, dan.. Tadi malam kita resmi jadian" celotehnya. Aku menghampiri Rendi sambil menepuk pundaknya "Hahaha, kmu hebat! Selamat ya, saya pikir yang akan mengakhiri status jomblo itu saya duluan, ternyata kmu jauh lebih cepat" ujarku

"Memangnya mas Dika lagi suka sma cewek juga ya? Siapa mas?"

"Ya, perasaan suka ini saya rasakan dari dua minggu yang lalu.. Ah sudahlah, lupakan saja" ujarku

"Loh kenapa mas? Kenapa harus dilupakan?" tanya Rendi tak mengerti apa maksudku

"Maksud saya ya sudah gak usah dibahas lagi. Oiya, kapan kmu kenalin pacar kmu itu?"

"Emm.. Kapan ya? Oiya mas, hari ini aku diajak liburan sama dia ke villa milik papahnya yang ada di puncak, mas boleh ikut ko, sekalian aku kenalin dia sma mas, gimana?" ajak Rendi

"Apa tidak mengganggu?" tanyaku ragu

"Tidak ko mas, lagi pula dia juga bawa teman ceweknya, ya siapa tau aja mas srek sma temannya, hehe" serunya. Aku berpikir akan ajakan Rendi liburan hari ini, apalagi tentang teman perempuan pacarnya yang Rendi bilang siapa tau bisa srek denganku. "Apa bisa aku jatuh cinta kelain hati? Sementara aku sudah jatuh cinta sama si gadis cantik Rena itu? Tidak mungkin" pikirku.

"Mas, gimana mau gak?" tanya Rendi

"Oke, saya ikut liburan sama kmu, tapi saya bawa motor sendiri aja ya"

"Iya mas gak apa-apa, aku sama yang lainnya di mobil, nanti kita ketemuan di villa"

"Oiya, kmu boleh mandi duluan, karna pasti sudah ditunggu sma pacarmu, iyakan?" godaku

"Hahaha, iya, mas Dika tau saja, kalau begitu aku mandi duluan ya mas"

Aku perhatikan Rendi begitu bahagia sudah mendapatkan pasangan, mungkinkah aku juga akan sebahagia Rendi jika bisa mendapatkan Rena? Tentu saja.

Hari ini memang sangat cerah, pas untuk liburan. Apalagi aku membawa seorang perempuan yang kucintai, tepatnya yang kusayangi. Aku rindu akan senyuman Rena, aku rindu kepolosannya, aku rindu paras wajahnya yang cantik. Tak kupikir sebelumnya akan mencintai seorang gadis yang masih di bawah umur seperti Rena, yang pantasnya menjadi adikku seperti Danti, tapi Rena berbeda dengan Danti, maka dari itu aku menyukainya, karna Rena juga bukan adikku.

Hampir dua jam perjalanan menuju Villa yang dimaksud oleh Rendi, kuhembuskan napasku seraya membuang penat karna malam minggu suram semalam. Kulangkahkan kaki pelan-pelan menghampiri Rendi yang melambaikan tangan di atas bukit tempat di mana Villa itu berdiri. Tak lama sesampainya aku di halaman Villa itu nampak kulihat seorang perempuan yang tak asing lagi di mataku. "Sepertinya aku pernah liat perempuan itu, tpi di mana ya?" gumamku. Kuhampiri perempuan itu denagn hati yang menerka-nerka. Lalu perempuan itu menoleh ke arahku.

"Loh? Om kan yang waktu itu mau berbuat tidak baik sama teman aku kan!! Ngapain om di sini?" tanya perempuan itu yang tidak lain adalah Laras, temannya Rena

"Berbuat yang tidak baik? Maksud kmu apa?" tanyaku tidak mengerti

"Om kan yang waktu di bengkel itu ngerayu teman aku biar bisa jadi gula-gulanya om? Ngaku deh!" merongosnya semakin membuatku tak mengerti

"Gula-gula? Aduh saya benar-benar gak ngerti maksud kmu apa. Dan saya ke sini di ajak teman saya, namanya Rendi"

"Rendi?" seru Laras.

Tak lama kemudian Rendi pun menghampiri kami karena suara Laras yang terbilang kencang dan berteriak . Rendi tak sendiri, diikuti oleh seorang perempuan dua minggu yang lalu kukenali.

"Ada apa si ribut-ribut?" tanya Rendi

"Iya nih, ada apa si?" tanya juga perempuan yang bersama Rendi.

Mataku langsung tertuju pada perempuan yang datang bersama Rendi itu yang tidak lain adalah Rena, perempuan yang kudambakan itu. "Rena?" gumamku pelan.

"Ada om-om gila yang mau ngerusak liburan kita Ren" cetus Laras

"Hah? Om ngapain di sini?" tanya Rena

"Mau ngapain lagi kalau bukan mencari mangsa Abg-abg kaya kita ini!" lanjut Laras menjelek-jelekanku di depan Rena, kalau bukan perempuan sudah kusumpal mulutnya dengan koran biar masuk berita seperti di televisi itu. Huh!

"Eh sudah-sudah! dia ini mas Dika yang tadi aku ceritain di mobil, mas Dika ini bukan gigolo" jelas Rendi yang membuat Rena dan Laras keheranan dan saling menatap satu sama lain.
"Aku bekerja di kantor tempat mas Dika bekerja juga, dan kita juga satu kosan ko, kalian gak percaya?" lanjut Rendi bertanya

"Emmm.. Kita percaya ko, iyakan La? Sebelumnya aku dan Laras minta maaf ya sama om.. Eng, maksud aku mas Dika. Hehe" ujar Rena dengan senyumannya yang manis "Kalau gitu kita masuk yuk, aku udah nyiapin makanan untuk kita" seru Rena mengajak kami masuk ke dalam. Aku menatap setiap gerak-gerik Rena, rambut sebahunya yang tertiup angin menambah kecantikan yang alami pada wajah berumuran tujuh belas tahun itu.

Dalam hatiku masih menyimpan tanya, sejak kapan Rendi dan Rena juga Laras bisa saling kenal? Dari cara mereka berbicara pun sepertinya sudah sangat akrab, tidak seperti aku yang masih merasa sebagai orang baru diantara mereka.

"Ternyata mas Dika sudah kenal sama Rena dan Laras, jadi aku tidak usah mengenalkan kalian ya, hahaha" ucap Rendi mengawali percakapan di meja makan

"Iya, kita memang udah saling kenal, kalau gak salah waktu itu aku mengambilkan dompet mas Dika yng terjatuh, lalu kita ketemu lgi di bengkel, dan pada waktu itu Laras berbisik klau mas Dika ini adalah om-om yng mau jadiin aku gula-gulanya, hahaha" sahut Rena

"Duh, aku jadi ngerasa gak enak sma mas Dika, maaf ya mas, aku gak ada maksud buat. . ." ucapan Laras terhenti karna aku langsung berbicara

"Gak apa-apa ko, saya bisa maklumi, karna tampang saya seperti om-om kan? Hahaha.. Oiya Ren, mana pacar kmu yang mau dikenalin sama saya?" tanyaku membuat semuanya terdiam. Namun kulihat Rena dan Rendi saling menatap dan tersenyum, begitu pun dengan laras yang membuatku mengadukan kedua halis.

"Aku hampir lupa soal itu mas, pacarku ada di sini ko" seru Rendi yang membuatku kembali bertanya-tanya

"Ada di sini?" diam sejenak sembari menebak siapa pacar Rendi "Saya tau, kamu kan?" tebakku menunjuk Laras. Mereka tertawa bersama, sementara aku keheranan sendiri

"Loh kenapa tertawa? Benarkan kalau Laras itu pacarnya Rendi?" tanyaku pada Rendi

"Maaf mas, pacarku bukan Laras, tapi Rena" jelas Rendi yang merubah suasana hatiku menjadi tak karuan

Degdeg!
Degdeg!
Degdeg!

Tetak jantungku tak beraturan, aku memandang Rena yang tersenyum bersama Rendi di atas luka yang kurasakan saat ini.

Taukah hatiku galau
Tak tau harus melangkah
Sejak pertama mata ini menatap hatiku tak pernah dusta

Bila cintaku ini salah
Hatiku tetap untukmu
Namun kenyataannya parah
Dirimu tak pernah untukku

Mencoba lupakan keinginan hati
Namun tak inginku menyerah
Tapi mengapa bila aku mendekat rasanya semakin jauh

Ternyata kuhanya bisa
Menggapaimu di mimpiku. (y.a.n)

Entah apa yang ada di dalam pikiranku saat ini, suasana sejuk di atas bukit ini tak mampu membuat hatiku nyaman, yang aku bayangkan saat ini adalah ketika pertama kali aku mengenal Rena di pertigaan jalan itu, di mana pertama kali aku jatuh hati padanya. Benar-benar tak pernah kusangka sebelumnya kalau semua ini akan terjadi pada kisah asmaraku. Dalam keterdiamanku di teras luar, Rendi menghampiriku dengan membawa dua cangkir teh.

"Mas" sapa Rendi

"Eh Rendi, ada apa?" tanyaku dan menghilangkan sejenak suasana galau tadi

"Rena ngajakin kita berpotho bareng" ujar Rendi. Aku sedikit terdiam

"Kalian duluan saja, saya masih mau di sini, oiya Ren, sejak kapan kamu kenal sama mereka?" tanyaku penasaran

"Aku mengenal Laras terlebih dahulu di tempat makan pada malam itu mas, dua hari sesudah itu Laras kenalin aku sma Rena, aku langsung tertarik padanya. Lalu aku deketin dia, setelah tadi malam aku nembak dia dan kita pun jadian" jelas Rendi yang membuatku berkata-kata dalam hati "Sesingkat itukah?".

"Apa yang membuat kmu menyukai Rena?" tanyaku lagi

"Entahlah mas, mungkin ini yang dinamakan dengan cinta, jatuh cinta tanpa alasan untuk menjelaskannya, tapi yang pasti aku benar-benar sayang sama Rena" ujarnya membuatku sedikit tak mampu berkata-kata

"Sama, saya jatuh hati padanya tanpa sebuah alasan yang bisa dijelaskan, jatuh cinta yang seperti itu memang indah" tuturku membuat Rendi bertanya

"Jatuh hati pada siapa mas?" tanya Rendi

"Jatuh hati pada seseorang yang sudah termiliki" ujarku

"Yang sabar ya mas, mungkin dia diciptakan bukan untuk mas Dika, aku yakin suatu saat nanti mas pasti akan mendapatkan yang lebih baik" celoteh Rendi sembari menyentuh pundakku, aku hanya bisa tersenyum menyembunyikan rasa sedih ini. Rendi pergi meninggalkanku menemui Rena yang mengajaknya untuk berpotho bersama.

Aku kembali terpaku, kupejamkan mata, berharap kesedihan tak berlarut-larut, kubiarkan angan-angan ini pergi, "Jujur saja aku belum bisa berpaling hati darinya ya Tuhan.." batinku. Harapan tinggallah harapan yang harus kukubur dalam bersama rasa ini.

**

Perasaan sedih juga suasana yang tidak mengenakan hati di Villa itu masih kurasakan sampai ke kosan, aku tak mau membohongi Rendi dengan menyembunyikan semua ini, biar bagaimana pun aku harus bisa melupakan keinginan untuk memiliki Rena, karna dia bukan untukku.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan rapih, aku akan kembali meninggalkan Rendi sendiri ke Bogor. Bukannya aku tak bisa menerima kenyataan ini, aku laki-laki, aku manusia biasa yang bila tersakiti walau tak di sengaja pun pasti akan terasa sakit, apalagi ini soal perasaan yang bertepuk setengah dari sebelah tangan. Aku melakukan lagi yang pernah kulakukan, menyelipkan selembar pesan pendek di sela-sela cermin untuk Rendi.

"Rendi, maaf untuk yang kedua kalinya karna saya menyampaikan ini hanya lewat surat. Saya pergi ke Bogor, satu minggu kemarin belum bisa menebus rasa rindu saya pada keluarga saya. Kamu jaga diri baik-baik dan jaga Rena. DIKA"

Pesan singkatkah itu? Ah yang jelas aku benar-benar sudah pergi dari kosan dan pulang dengan membawa bekas luka yang terukir dengan sendirinya di hatiku.

Setibanya di Bogor, aku kembali disambut oleh perempuan yang menurutku paling menyebalkan di dunia, Euis.

"Akaaaaang, akhirnya akang teh pulang lagi, Euis teh sudah yakin kalau akang pasti balik lagi buat ngelamar Euis, iyakan?" celoteh Euis dengan sesuka hatinya.

Dret!
Dret!
Dret!

Belum sempat kujawab pertanyaan Euis yang konyol itu tiba-tiba handphoneku bergetar tanda ada pesan masuk. Kuambil handphone dari saku celanaku dan segera kubaca

"Selamat melupakan ya Mas, aku pasti akan menjaga Rena, move on mas. RENDI"

Aku hanya bisa tersenyum membalas pesan dari Rendi, setelah itu sejenak aku berpikir, "Jika memang aku harus merelakan cinta pergi untuk dimiliki oleh orang yang lebih tepat maka aku ikhlas". Aku pastikan kejadian ini akan menjadi sebuah pengalaman yang termanis di dalam hidupku. Segera kupergi dari hadapan Euis tanpa menjawab pertanyaan konyolnya itu. Euis kembali berteriak memanggil namaku dari jauh sambil melambaikan tangan, kali ini akan kubalas lambaian tangannya tanpa menoleh ke arahnya.

Biarlah dan biarkan aku sendiri untuk belajar merelakan sesuatu yang harus pergi.

TAMAT
Bogor, 20 Maret 2014