Rabu, 26 November 2014

CERPEN:~Puisi Sedih Dalam Bingkai~



PUISI SEDIH DALAM BINGKAI
Oleh : Niaw Shinran


Present ...

Dear Awan ...
Kau bohong!
Nyatanya dunia tak selalu indah, buktinya hari ini, kehadiranmu hanya menyisakan menit-menit yang menyakitkan.
Nyatanya dunia tak selalu penuh dengan senyuman, buktinya hari ini, kusaksikan sekujur tubuhmu enggan bermain lagi.
Nyatanya dunia tak selamanya penuh warna, buktinya hari ini, tanpamu hanya akan ada langit dipenuhi hujan.
Teruntuk Awan, putihmu mulai kelam, kelembutanmu tak lagi kurasakan.

Dariku yang sempat memilikimu ''Bintang''

**

Dua hari sebelum detik-detik itu tiba, kami sempat berbicara tentang kesetiaan, ketulusan, kasih sayang dan cinta. Hatiku mengatakan mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengatakan yang sesungguhnya bahwa aku sudah lama menyukainya, tak perduli statusku sebagai perempuan, kubuang rasa gengsi, yang namanya rasa cinta itukan datangnya natural, kurasa siapapun itu berhak mengutarakan cintanya.

Aku sedang berusaha mencari celah untuk memotong pembicaraannya tentang sesuatu yang tadi kubilang, cinta.

''Rasanya aku sudah bosan menjomblo, Bi'' ucapnya

''Lho kenapa??'' tanyaku
''Wahhh ini kesempatan emas'' ucapku dalam hati

''Bosan aja, ngomong-ngomong soak cinta, aku malah gak tau apa itu cinta'' ujarnya

''Lho? Kok gak tau? Cinta itu seperti apa yang kita bicarakan tadi, kesetiaan, ketulusan dan kasih sayang''
''Pura-pura gak tau apa lupa? Kamukan sudah sering pacaran'' pikirku

''Iya aku tau itu, tapi aku tuh belum pernah ngerasain cinta yang seperti itu, cewek-cewek diluar sana cuma mau sama hartaku aja, Bi,'' keluh Awan

''Hem ... Makanya nyari pacar itu harus ditempat yang baik maka akan dapet yang baik juga'' seruku

''Emang gitu?'' tanya Awan heran

''Gak yakin sih, hehehe''

''Hah! Dasar kau ini.''

Tiba-tiba Awan terdiam, sepertinya dia masih memikirkan tentang apa yang tadi dibahas. Aku diam-diam memperhatikan wajahnya yang tampan, setiap lekukan yang terbentuk diwajahnya itu sangat indah.

''Apakah ini saatnya? Tapi aku takut kalau kau tidak membalas cintaku, karena aku tidak mau akhirnya kau hanya mentertawakanku'' ucapku dalam hati. Aku masih meyakinkan diri dan hati ini untuk berterus terang.

30 menit kemudian

Aku masih membungkam hatiku, sementara Awan mengatakan bahwa ia harus segera bersiap-siap untuk kuliah, lantas apa yang harus kukatakan terlebih dahulu untuk memulainya? Apakah ''Awan aku cinta padamu'' atau ''Awan, kamu mau gak jadi pacar aku?'' ah!! Tidak!!

''A-awan, kenapa kmu buru-buru sekali?'' tanyaku

''Kan tadi aku sudah bilang kalau aku harus kuliah hari ini, kalau aku bolos lagi yang ada aku gak akan pernah skripsi'' jawabnya sambil memakai sepatu di depan rumahku

''Kamu enggak mau nuggu bundaku dulu buat pamitan? Bundaku sebentar lagi pulang kok, lagi ke warung sebentar'' ucapku mengulur waktu sambil mencari ide

''Emmm tidak perlu, lagiankan aku udah pamitan sama kamu'' ujarnya

''I-iya juga sih'' diam sejenak
''Se-sebenarnya ada yang mau aku katakan sama kamu'' celotehku

''Duh jangan sekarang deh, buru-buru nih udah telat 5 menit'' seru Awan sambil melangkahkan kaki keluar garasi. tak ingin melewatkan kesempatan ini akupun langsung mengatakannya

''Aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Awan'' seruku.

Kulihat Awan berhenti pas sejajar dengan garasi, pelan-pelan wajahnya menengok kebelakang, rasanya aku tak berani menatapnya lagi, pipiku terasa panas, jantungku berdebar-debar tak karuan. Aku merunduk, tak lama ada yang berdiri dihadapanku, wangi tubuhnya sangat kukenal, ya, rupanya Awan kembali menghampiriku dan langsung memlukku begitu saja, aku bingung, apakah aku harus senang atau bingung? Karena Awan melakukan hal yang belum pernah dilakukannya kepadaku, nafasku hampir habis karena dekapannya

''A-awan lepasin aku, gak bisa na-nafas'' pintaku

''Eng, sorry aku gak bermaksud'' ucapnya

''Huuhh!! Aku belum ingin mati, kalau aku mati siapa yang akan memanggilmu dengan sebutan Awan? Nama aselimu itu kan jelek, Sugih!!'' ucapku meledek

Awan menggelitikku, sungguh aku sangat tidak tahan

''Bi, apa kamu serius dengan ucapanmu tadi?'' tanya Awan

''A-aku serius'' aku kembali gugup

''Kau yakin dengan apa yang barusan kamu katakan itu?'' tanyanya lagi

Aku menganggukkan kepala, Awan tersenyum, matanya berkaca-kaca, tangannya menyentuh pipiku, ada rasa dingin yang kurasakan dari setiap jemarinya

''Bi, kalau aku jadi pacar kamu, apakah kamu akan ingat aku terus? Tanyanya

''Iya''

''Kalau aku jadi pacar kamu, apakah kamu akan selalu perhatian??'' tanyanya lagi

''Iya''

''Kalau aku jadi pacar kamu, apakah kamu siap untuk aku tinggalkan hari ini??'' tanyanya lagi

''Iya, kalau cuma ditinggalin ke kampus doang sih gak apa-apa, asal jangan ditinggal kawin, hehehe'' ledekku dan Awan pun tersenyum
''Kalau begitu aku mau jadi pacar kamu, tolong ajari aku tentang kesetiaan, ketulusan dan kasih sayang, karena aku tak mau pergi tanpa tau akan semua itu'' ucapnya

''Iyaaaa, kenapa ucapan kamu jadi puitis gitu sih?'' tanyaky sedikit heran

''Bukan puitis, aku kan berusaha buat ngeyakinin kamu juga kalau aku pun mau jadi pacar kamu'' celotehnya

''Makasih ya, Awan, aku gak akan pernah menyesak karena jatuh hati sama kamu'' ujarku sambil memeluknya dan Awan pun membalas pelukanku.

''Ehemmm ...!!''


Tak lama bunda pulang, kehadiran bunda yang tiba-tiba muncul itu membuatku dan Awan sedikit salah tingkah karena malu
''Eh, bunda udah pulang, kok sebentar banget sih ke warungnya?'' tanyaku

''Bunda cuma beli gula sama telur aja kok, kalian berdua ngapain?'' tanya Bunda

''Eng, kita gak lagi ngapa-ngapain kok bunda, iyakan Awan?'' seruku gugup

''Iya tante, kita gak ngapa-ngapain kok, aku juga mau kuliah'' ucap Awan

''Oh, kalau gitu bunda masuk dulu ya'' ujar bunda.

Fyuuhhh!!

Aku dan Awan tertawa kecil atas kejadian tadi, lalu Dengan mesra Awan mengecup keningku sebelum pergi
''Emmmmuaaach!!''
''Aku pergi dulu ya, ini adalah hari yang paling istimewa buat aku'' ucap Awan

''Makasih juga karena kamu cintaku gak bertepuk sebelah tangan, aku gak akan ngecewai kamu'' Ujarku

Perlahan-lahan Awan melangkah kembali keluar garasi, Awan sempat melihatku dan melambaikan tangan, jauh semakin jauh ia menghilang dari pandangan mataku.

5 detik kemudian

Ngiiik!!!!
Bruuuukkk!!!!

Deg! Deg! Deg!

Jantungku berdetak kencang setelah kudengar decitan rem mobil diluar sana disertai jeritan dan orang-orang yang berlalu-lalang menuju suara decitan mobil itu. karena penasaran lantas aku pun langsung berlari keluar dan berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dari kejauhan terlihat segerumunan orang tengah berkumpul menyaksikan sesuatu yang sepertinya baru saja terjadi.

Tap! Tap! Tap!

Kakiku lincah berlari ke arah orang-orang itu. Tak kuduga sesuatu yang paling menyedihkan akan terjadi diwaktu kebahagiaanlu sedang kurasakan, baru saja beberapa menit aku merasa memilikinya, kini aku harus kehilangannya, Awan, Awan kecelakaan, tubuhnya sudah menjadi mayat hanya dalam waktu hitungan detik saja, aku menjerit histeris, kurangkul kepalanya dan meminta tolong kepada siapa saja untuk membawanya ke rumah sakit secepatnya, namun tak ada yang mendengarkanku karena mereka pikir sudah tidak ada gunanya membawa orang yang sudah mati ke rumah sakit.

''Tolong bantu akuuuuuu ... Hikss!!'' isakku

Awan, ucapanmu yang terkadang membuatku tak mengerti itu ternyata adalah sebuah pertanda, ucapanmu yang tiba-tiba puitis itu ternyata juga pertanda, pertanda bahkan kau akan meninggalkanku.

**

Malam kedua setelah kepergiannya, aku ingin memberikan sesuatu untuknya, sesuatu yang mungkin tidak bisa kuberikan langsung, namun kuyakin disana dia akan senang dengan apa yang akan kuberikan, kubingkai puisi sedih untuknya, akan kuletakan bingkai bingkai itu di atas taburan bunga kamboja.

Dear Awan ...
Kau bohong!
Nyatanya dunia tak selalu indah, buktinya hari ini, kehadiranmu hanya menyisakan menit-menit yang menyakitkan.
Nyatanya dunia tak selalu penuh dengan senyuman, buktinya hari ini, kusaksikan sekujur tubuhmu enggan bermain lagi.
Nyatanya dunia tak selamanya penuh warna, buktinya hari ini, tanpamu hanya akan ada langit dipenuhi hujan.
Teruntuk Awan, putihmu mulai kelam, kelembutanmu tak lagi kurasakan.

Dariku yang sempat memilikimu ''Bintang''.

Selesai
Bogor, 23 November 2014

Minggu, 16 November 2014

Cerpen:~Cerita Menjelang Pernikahan~


CERITA MENJELANG PERNIKAHAN
Oleh : Niaw Shinran

Present ...

Minggu, 12 Oktober 2014
Tak pernah terpikirkan sebelumnya semua ini akan terjadi begitu saja, ya, seusai lamaran aku akan langsung melaksanakan pernikahan dengan laki-laki pilihanku, Dena namanya, dia baik seperti laki-laki pada umumnya, namun yang membuatku jatuh hati padanya sampai aku tak meragukan niatnya untuk menikahiku adalah tanggung jawabnya sebagai laki-laki, tak ada yang namanya omong kosong seperti laki-laki kebanyakan diluar sana, dia sungguh sangat aku cintai, bagaimana tidak, dia selalu ada untukku, dia selalu menjadi tempat keluh kesahku, dia selalu menjadikanku ratu setiap kali aku ada di sampingnya. Aku sungguh bahagia.

Banyak persiapan yang harus kupersiapkan, terutama untuk diriku pribadi dan khususnya itu adalah kesehatan, aku manusia biasa yang rentan terkena sakit, tiga minggu menjelang hari pernikahan itu rasanya lumayan, lumayan degdegan. Aku yang biasanya cuek dengan kebersihan kamar, banyak gambar-gambar anime yang kusukai tertempel didinding ataupun dilemari, bukan hanya itu, ada pula desaig baju karyaku yang juga kutempel di dinding kamar, buku-buku dari  SMP sampai akhirnya selesai sekolah masih menumpuk dilemari buku, buku-buku ciptaan laguku, buku-buku komik yang kubuat sendiri dan juga buku dairy dari SMP pun masih ada, sungguh sangat disayangkan sekali kalau harus diabaikan. Kini kamarku harus kubersihkan, sedikit berat hati kulepas semua gambar-gambar itu, dengan sangat pelan-pelan tanpa ada yang sobek satupun, kusatukan semua itu dalam satu kardus yang lumayan besar beserta buku-buku kesayanganku. Aku merasa kalau aku memiliki jiwa seni dan kreatif, makanya aku selalu sayang apabila ada satu barang yang sempat kumiliki harus kubuang, dari pada terbuang lebih baik kusimpan baik-baik, karena itu semua akan menjadi nostalgia yang berharga.
**
Dua minggu menjelang hari pernikahan

Semua saudara-saudaraku sibuk ini itu, kalau bukan mereka siapa lagi yang akan mempersiapkan semuanya, maklumlah aku adalah anak Piatu, ibu sudah lama meninggal, 17 tahun yang lalu. Di rumah tak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri, tak mungkin kusuruh ayah untuk melakukan pekerjaan perempuan, sementara adik perempuanku satu-satunya tidak terlalu bisa diandalkan dan dia masih sekolah. Terkadang aku berpikir, terkadang aku sering melamun sendiri, inikah rasanya menikah tanpa adanya sosok seorang ibu? Mungkin hanya itu yang membuatku sedih. Tak jarang air mataku menetes ketika mengingatnya, asal kalian tahu, sekarang saja aku sedang meneteskan air mata, tapi yasudahlah, aku tak ingin membawa kalian ke dalam kesedihanku.

Banyak masukan yang kudapat dari sanak saudara, terutama mereka yang benar-benar perduli padaku, jaman sekarangkan yang namanya saudara itu seperti orang lain, sementara orang lain seperti saudara sendiri, tapi beruntungnya kau memiliki mereka, karena mereka tidak seperti itu. Aku adalah tipe perempuan yang cengeng, dinasehati saja bisa mengeluarkan air mata, emm ... Bisa dibilang lebay juga si. Hehe.

Dena, dia menemuiku untuk mempertanyakan surat undangan yang nantinya akan disebarkan seminggu menjelang pernikahan nanti.
''Sayang, kamu mau cetak undangan dimana?'' tanyanya

''Dimana ya? Kalau menurut kamu dimana?'' aku balik bertanya

''Kita cari sama-sama aja yuk nanti sore'' ajaknya

''Yaudah deh, kamu mau kopi?'' tawariku

''Boleh, jangan pake gula ya, nanti kemanisan karena kamu yang buat, hehe'' ucapnya gombal

''Huuuu ...'' seruku

Jangan percaya akan gombalannya itu, dia memang lebih senang kopi pahit, katanya lebih sehat, mau berapa kali ngopipun tidak akan jadi masalah, katanya.

Kata orang calon penganti itu harus dipingit dan tidak boleh bertemu pasangannya sampai hari pernikahan tiba, tapi aku abaikan ucapan itu, kujalani dengan biasa-biasa saja, yang namanya kebutuhan dan harus mempertemukan si perempuan dan laki-laki maka apa boleh buat, aku dan Dena masih sering bertemu. Surat undangan kami didesaig oleh tangan kami sendiri, hasilnya lumayan bagus, yang penting isi undanganya tidak boleh salah.
**
Satu minggu menjelang hari pernikahan, apa yang dirasakan oleh perempuan-perempuan lain menjelang hari pernilahannya? Tentu saja degdegan, bimbang dan tidak sabar menunggu satu minggu itu habis, poin yang ketiga memang aku rasakan, tapi tidak untuk poin pertama dan ke dua, hatiku tenang, hatiku mantap, hatiku siap dan ikhlas.

Hari ini aku berniat untuk menyebarkan surat undanganku bersama salah satu sahabatku yang juga akan menikah, Indah namanya, akad pernikahan kita hanya beda dua hari saja, sementara resepsinya hanya beda satu hari. Sungguh senang rasanya, akan tetapi kita tidak bisa hadir dipernikahan kita masing-masing, kita hanya saling memberi doa dan ucapan selamat.

Jam sepuluh siang Indah tiba di rumahku dengan motor metiknya, dia begitu kerepotan dengan tas berukuran sedang yang dibawanya.
''Itu tas isinya apa aja? Ada nasi padangnya gak? Hehe'' guyonanku

''Jangankan nasi padang, lauk pauknya juga ada, haahaha'' Indah membalas guyonanku.

Aku dan Indah memang bisa dibilang sama-sama humoris, jail dan gila, tapi tidak sampai masuk RSJ.
''Lama banget si? Janjinya kan jam sembilan, gw udah rapih dari tadi tau'' kesalku

''Iya sory Na, tadi gw mampir dulu ke rumah saudara buat ngasih surat undangan'' jawabnya

''Ohh gitu, oiya, surat undangan buat gw mana nih? Hehe'' tanyaku

''Jiyaaaa, percuma gw kasih lo surat undangan juga, lo gak bakalan datengkan, sama kaya gw, makanya gw gak ngarep di undang sama yang namanya Nina, hahaha'' ujar Indah

''Haha, tapi gw tetep minta amplop ah sama lo Ndah'' ucapku

''Gw juga sama, nanti kita tukeran amplop ya. Haha'' ujar Indah.

Aku dan Indahpun bergegas jalan menyebarkan surat undangan bersama-sama. Dijalan kita sama-sama sharing tentang persiapan pernikahan kita masing-masing, banyak kelucuan yang kita ceritakan, bla bla bla.

Betapa capeknya hari ini, selesainya menyebar semua surat undangan, aku dan Indah berencana untuk menemui salah satu sahabat yang rumahnya tidak jauh dari kampusnya Indah, Ima namanya. Beruntung Ima masih ada di rumahnya, karena satu jam lagi dia akan pergi ke pondok pesantren tempat dimana dia mencari ilmu, yang lebih membanggakan yaitu Ima adalah satri yang dipercayai oleh ustadzahnya.
''Aihhhh para calon pengantin nih, gw kapan ya sob?'' tanya Ima sambil tersenyum

''Yaaa siapa tau nanti lo bisa barengan sama si Tea, hoho'' seruku, Tea adalah salah satu sahabat kami juga, sekarang dia sedang bekerja disalah satu kampus bagian kemahasiswaan.

''Aminn ya Allah, eh ... Nanti lo harus menginap di rumah gw ya, kan lo yang jadi MC di acara nikahan gw'' pinta Indah kepada Ima

''Iyaaaa bawel, lo udah sms gw berapa kali soal itu'' juar Ima

''Kalau gw gk minta lo buat menginap di rumah gw, yang penting pas hari dimana gw nikah lo harus ada, jadi tukang photo. hahahah'' ucpaku, Ima dan Indahpun tertawa.

Sulit menggantikan sosok seorang sahabat seperti mereka, walau terkadang menyebalkan, akan tetapi aku selalu merindukan saat-saat bersama seperti ini, sayangnya Tea sudah jarang kumpul-kumpul lagi karena kesibukannya bekerja, Tea hanya bisa memberi kabar lewat Whatsapp.
**
Empat hari menjelang hari pernikahan, Dena datang legi ke rumah bermaksud untuk menghadiri surat undangan dari KUA. Banyak sekali komentar-komentar yang tak enak ditujukan pada kita berdua, katanya kita terlalu sering bertemu, hmmm ... Namanya juga kebutuhan. Dasar manusia!.

Sepulangnya di KUA, Dena mempertanyakan hal yang cukup lucu untuk kujawab.
''Yank, kamu udah ngapain aja?'' tanyanya

''Ngapain aja apa maksud kamu?'' tanyaku lagi

''Kan kalau mau nikah itu suka luluran inilah, itulah segala rupa'' ucapnya.

Akupun tertawa
''Hahaha, soal itu kamu gak usah tau ah, kepo deh'' jawabku

''Ihhh kok gitu si? akukan mau tau'' ucapnya sedikit kesal

''Iya sayank, aku luluran kok, hehehe'' ujarku

''Minta dong, heheh'' pintanya

''Beli dong! Hahaha'' seruku.

Aku dan Denapun pulang, hari ini adalah hari terakhirku bertemu dengannya sampai hari pernikahan tiba.
**
Minggu, 02 November 2014
~Sing
''Kantong hate dina jero dada, aya jangji, jangji urang duaan, kantong hate dina jero dada, aya rusiah, rusiah duaan ...''

Alunan lagu sunda mulai berirama di setiap sudut rumah beserta tenda yang berwarna pink berpadu dengan warna jingga. Aku mulai dirias, wangi melati khas pengantin mulai tercium, aku sedikit kesal karena tidak diperbolehkan bercermin, makanya hari ini aku sedikit tidak PD, namun kuhilangkan rasa itu demi kelancaran acara sakral ini.

Pengantin pria sudah datang, suara pelatasan yang sengaja disiapkan mulai meletup-letup dikupungku.

Duarrr!
Duarrr!
Duarrr!

Ahhh sudahlah, pasti kalian sudah bisa melanjutkan cerita ini, ini adalah catatanku yang ingin kuceritakan.

Menikah itu adalah sebuah kenikmatan yang nyata, menikah itu adalah langkah pertama menuju masa depan, menikah itu adalah awal dimana kita akan memiliki keturuan. Bagi kamu yang belum menikah, cepetan menikah gih ...! Hehe

Selesai

Bogor, 16 November 2014

Cerpen:~Biarlah Senja Tak Berwarna ~


BIARLAH SENJA TAK BERWARNA
Oleh: Niaw Shinran

Present ...

Beritahu aku ketika langit tak lagi menangis
Beritahu aku ketika tanah sudah tak lagi basah
Beritahu aku ketika mentari mulai menyinari
Beritahu aku ketika langit biru berubah menjadi merah jingga.
**
Gulungan selembar kertas yang terlilit pita merah menyala betah menghiasi meja belajarku di antara beberapa buku dan pulpen. Guyonan yang menyakitkan hati itu membuatku semakin tak tahu kapan aku akan benar-benar melihat warna itu, ''Lebih baik kau bermimpi dan lihatlah apa yang ingin kau lihat di dalam impianmu itu, jika masih gelap lebih baik kau bersembunyi dibalik selimutmu dan jangan pernah berharap lagi'' seruan mereka yang masih terngiang dipikiranku.

Lama tak bersua dengan seorang sahabata yang kini telah pergi jauh ke negeri seberang 'Malaysia'. Rinduku merangkai bait demi bait doa yang terucap dalam hati, semoga siapapun dia yang kurindukan diberikan kesehatan serta kebahagiaan yang berlimpah, begitupula doa untukku, tak banyak yang kupinta dari Tuhan, aku hanya ingin bisa membuktikan ucapan sahabatku itu, ''Dunia ini tak seindah di dalam mimpi jika kau tak mampu memahami apa itu kehidupan yang sebenarnya, kebahagiaan bukan hanya dinilai dari apa yang kita lihat saja, tetapi apa yang kita rasakan juga itulah yang lebih membahagiakan'' ucapnya, Bian namanya.

Apakah semua itu benar? Entahlah, maka dari itu aku ingin sekali membuktikan ucapannya dan melihat senja. Tak sedikit benda-benda yang terjatuh karena kebodohanku, ah! Apakah ini sebuah kebodohan? Tidak! Ini adalah takdir, dimana Tuhan lebih menyayangiku seperti ini, tapi bagaimana dengan guyonan itu? Itu artinya ada orang yang tidak menyayangiku, apakah aku harus abaikan itu? Tapi bagaimana? Sementara hatiku masih merasa sakit. Kutatap langit-langit kamarku, gelap, kutatap sudut-sudut kamarku juga gela, kuharap itu karena mati lampu, ya, hanya mati lampu.


Tuhan memberi aku kehidupan tanpa warna yang nyata, Tuhan hanya memberikanku kehidupan di dalam mimpi, aku berlari di dalam mimpi, aku menulis di dalam mimpi, aku dapat melihat warna di dalam mimpi, semuanya di dalam mimpi, hanya saja di dalam mimpi aku tidak memiliki teman yang dapat kuterka wajahnya. Bian, aku rindu celotehnya, lima tahun telah berlalu, lima tahun sudah dia meninggalkanku, kurasa dia sudah sangat berubah, rasanya ingin kumenatap cermin sampai aku benar-benar bisa melihat perbedaan postur tubuh dan paras wajahku, sepertinya cuma begini-begini saja, buktinya aku belum bisa mencapai lemari bagian atas tempat gamis-gamis kesukaanku yang terlipat dan tergantung.

''Bian kapan pulang ya? Aku sudah tak sabar ingin memperlihatkan gambar langit sore ini padanya, aku yakin kali ini pasti tidak salah warna'' ujarku sembari menggenggam kertas berlilitkan pita itu.

Hari sudah semakin gelap, Kutarik gorden jendela kamarku, rasa hangat dari matahari sore yang tak lain adalah senja merasuk ke dalam celah-celah jendela dan membias di permukaan wajahku, kupejamkan mata ini dan membayangkan warna-warna indahnya.


''Aisya!!! Gara-gara kamu menjatuhkan handphoneku, kameranya jadi eror, dasar bodoh!!! Kau harus menggantinya!!'' teriak Meli dibalik pintu kamarku, dia adalah saudara tiriku.

Ya, apa aku bilang, aku memang bodoh, tapi kenapa setiap kali ada benda yang jatuh selalu saja menyalahkanku, padahal hari ini aku belum keluar kamar dan sama sekali tidak ada benda yang kujatuhkan. Mamaha, aku rindu mamah, aku tidak ingin papah menikah lagi waktu itu, karena imbasnya seperti ini, aku memiliki saudara yang tak pernah menyayangiku.

''Ta-tapi aku tidak menjatuhkan handphonemu itu, sungguh'' ucapku sedikit terbata-bata

''Kalau bukan kamu lalu siapa lagi? Mamah? Papah? Gak mungkinlah, pokoknya aku gak mau tau ya, kamu harus ganti handphoneku ini lima juta!'' serunya

''Ta-tapi, aku tidak punya uang sebanyak itu'' ucapku, tapi percuma, Meli sudah pergi dan tak mendengarkanku.

Kuraih genggaman laci dan menarik keluar, kuambil kunci lemariku untuk mengambil celengan kucing kesayanganku di dalam lemari, sudah hampir tiga tahun ini aku menyisihkan uang pemberian papah dari sewaktu SMA hingga sekarang, kini celengan kucingku harus kukorbankan untuk sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan, aku bisa saja menjelaskan semuanya, bahkan aku bisa saja minta uang itu kepada papah, tapi tidak segampang itu, ini biar jadi urusanku.

Braaak!!!

Entah ada berapa banyak koin yang berserakan kesegala arah, yang kuambil hanya uang kertasnya saja, sementara koin-koinnya hanya aku tumpukan saja dan kusimpan di dalam laci. Kini aku mengepal segepok uang untuk mengganti kerusakan handphone milik Meli, aku tak tahu berapa banyak uang yang ada ditanganku sekarang, yang membuatku heran kenapa Meli meminta uang begitu banyak padaku, apakah handphonnya itu benar-benar mahal? Entahlah.
**
Malam ini rasanya aku ingin sekali keluar rumah, memandang langit yang selalu gelap, melihat kunang-kunang yang entah apakah itu cahaya kunang-kunang, merasakan angin yang berlarian serta mendengarkan suara jangkrik-jangkrik kecil yang berirama. Benar saja, jangkrik-jangkrik di luar sedang bernyanyi, aku merasa memiliki teman malam ini, udara malam membuatku seluruh tubuhku terlepas dari kepenatan di dalam kamar seharian tadi.

''Seandainya ada Bian disini, pasti sekarang ini dia akan menemaniku dengan suaranya yang lembut, hmm, Bian, kapan kamu pulang?'' celotehku dalam hati

Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundakku kasar, segingga menbuaku merasa sedikit kesakitan, dia tak lain adalah Meli dan temannya Viola, mereka tiba-tiba saja mentertawakanku tanpa sebab, kupikir aku tidak sedang memakai kostum badut atau ondel-ondel, lantas apa yang mereka tertawakan? Aku hanya mengkerutkan kening dan merunduk.

''Hahaha, harus berapa kali sih aku bilang ke kamu kalau mau melihat apa yang mau kamu lihat itu di dalam mimpi aja, jangan kaya orang yang sok bisa melihat kaya gini dong, malu sama kenyataan!! Hahahah'' seru Meli

''Lebih baik kamu masuk sana, nanti masuk angin lagi, kalau sakitkan pasti ngerepotib bangetm iyakan Mel?'' ucap Viola


''Iya, Vi. Udah kamu masuk aja, ngerusak pemandangan tau gak!!'' diam sejenak ''Eh, sebentar deh, duitnya udah disiapinkan? Kalau enggak aku gak akan segan-segan ngacak-ngacak kamar kamu yang jelek itu!'' jelas Meli mengancamku

''Su-sudah kok, tapi aku tidak tahu apakah uangku cukup atau tidak untuk menggantinya'' jawabku

''Yasudah, nanti aku yang menghitung semuanya, ribet deh!, udah sana masuk!'' sahutnya

Lantas aku pun masuk ke dalam rumah dan bergegas ke dalam kamar dengan hati-hati, rasanya ingin kuberlari dan berteriak, lagi-lagi mereka mengatakan itu semua, kehidupanku hanya di dalam mimpi, aku manusia, apakah aku tak pantas hidup di kehidupan ini dengan segala kekuranganku? Apakah mereka merasa kalai diri merekalah yang paling sempurna? Ah, aku tidak mau terbawa emosi.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu, kurasa itu adalah Meli yang mau mengambil uang itu, segera kubuka dan kusuruh ia masuk, aku tidak ingin sampai ada yang tahu, terutama papah.

''Mana duitnya?'' tanya Meli

''Ini, silahkan kamu hitung senidir, itu uang celenganku selama tiga tahun ini, kuharap cukup'' kuberikan uang itu

''Bawel, sini biar kuhitung'' ... ''Sejuta, dua juta, tiga juta, empat juta, lim ... Lho? Ini cuma ada empat juta lima ratus ribu, kurang lima ratus ribu lagi dong'' ucap Meli

''Aku tidak punya uang lagi selain itu semua, tapi kalau kamu mau kamu boleh kok ambil koin-koin sisa celenganku ini'' kuberikan koin yang sudah kutumpukan tadi

''Iyuuh!! Receh? Its oke, aku ambil'' ... ''Kertas yang dililitkan pita apa isinya nih?'' tanya Meli ketika ia melihat kertas berlilikan pita tergeletak di meja belajarku

''I-itu, itu hanya sebuah gambar'' jawabku

''Gambar? Gambar apa?'' tanya Meli lagi

''Gambar langit senja'' ucapku

Karena penasaran lalu Meli pun membuka kertas itu dan melihatnya

''Hahahaha'' lagi-lagi Meli tersenyum tanpa sebab

''Ke-kenapa?'' tanyaku penasaran

''Gambar senja ya, suatu saat nanti kamu akan tau kenapa aku mentertawakan semua ini, hahaha, thaks ya duitnya, oiya aku hampir lupa, ada surat buat kamu, gak tau deh dari siapa'' ujar Meli

''Surat? Eng ... Bisa tolong dibacakan tidak?'' pintaku

''Arggh!! Selalu saja merepotkan!! Oke aku bacain surat ini, dengerin baik-baik ya''
''Dear seseorang yang sangat kurindukan, Aisya.
Hay Aisya apa kabar? Kuharap kamu baik-baik saja dan masih seperti Aisya yang kukanal, cantik, manis, murah senyum, dan baik hati.
Maaf karena selama ini aku jarang menghubungimu. Aku disini sangat sibuk sekali, kini aku sudah menjadi seorang dokter muda, hebatkan! Hehehe
Aisya, apakah kau sudah menyiapkannya? Sesuatu yang pernah kupinta dulu, aku tau kau tidak akan mengecewakanku
Besok aku akan pulang ke Indonesia, aku kangen sama kamu, aku mau mengajakmu kesuatu tempat, tempat dimana kamu ingin sekali mengunjunginya, kamu pasti penasaran
Kalau begitu selamat menunggu ya, besok aku akan menjemputmu.
-Bian-''

''Huh! Bian itu siapa sih? Lebay banget kaya anak ABG'' tanya Meli sembari menyerahkan surat itu padaku

''Bian itu sahabatku dari kecil, kita hanya beda umur dua tahun, dan dia akan pulang besok dari Kuala Lumpur'' seruku

''Uasudahlah gak penting!! Bay!!'' Meli pun pergi dengan membawa uangku.

Deg! Deg! Deg

 Jantungku berdebar-debar setelah tau kalau Bian akan pulang, aku sudah tidak sabar ingin menunjukan gambar itu.
**
''Aisya, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu'' sahut mamah

Aku segera bergegas keluar dari kamar dan menemui seseorang itu, dan itu sudah pasti Bian.

''Kuharap aku tidak salah kostum'' ucapku dalam hati

''Aisya'' sapa suara laki-laki yang mungkin ada dihadapanku, aku kenal suara itu, lembut dan menyejukan hati

''Bi-bian, kaukah itu?'' tanyaku

''Iya, aku Bian'' helas Bian, dia memelukku dan segera mengajakku ke suatu tempat yang dijanjikannya dalam surat itu

''Kita mau kemana?'' tanyaku

''Kita akan ke bukit, kita kan sudah lama tidak main ke sana'' serunya

''Pelan-pelan Bian, aku tak sempat memakai sendal karena kau langsung menarik tanganku begitu saja'' pintaku

''Haha, maaf ya, karena aku sudah tidak sabar'' ucapnya.

Aetibanya di bukit, Aku dan Bian duduk di antara bebatuan yang besar, menunggu sore tiba hingga terciptanya warna merah jingga dilangit sana. Aku masih menyembunykan kertas itu di dalam saku bajuku, aku akan berikan itu jika Bian mempertanyakannya. Bian banyak bercerita tentang kehidupannya yang sekarang, dia sudah bisa memanjat poholah, dia juga sudah bisa memakai dasi sendirilah, tidak takut kecoa lagi dan mulai menyukai yang namanya membaca. Aku hanya menjadi pendengar setia untuk semua cerita-ceritanya.

Jam sudah menunjukan pukul lima sore, Bian akhirnya menanyakan gambar itu, lalu dengan senangnya aku memberikan kertas berlilitkan pita itu padanya.

''Romantis sekali sampai harus pake pita seperti ini Sya'' ujar Bian

''Sudahlah, lebih baik dilihat saja, aku pasti sudah tidak salah warna lagi'' ucapku

Pelan-pelan Bian membuka pitanya dan melihat gambar yang kubuat itu, tiba-tiba Bian terdiam cukup lama, itu membuatku bertanya-tanya, ada apa?

''Benarkan aku sudah tidak salah warna lagi?'' tanyaku

''Mmmm, kamu masih salah warna Sya, sudah tiga kali ini warna yang kau pakai adalah warna putih, jadi tidak ada gambar apapun yang kulihat di kertas ini'' jelasnya

''A-apa?''

''Gak apa-apa kok Sya, aku mengartikan semua ini kalau hatimu itu bersih dan putih seputih kertas ini, jika kamu butuh warna maka akan aku berikan'' ucap Bian sambil memegang jemariku

''Apa maksudmu?'' tanyaku

''Sya, dari dulu aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan memberikan warna di dalam hidup kamu dengan cara apapun itu, aku sayang sama kamu Sya, aku mau kita bisa bersama-sama lagi seperti dulu kita selalu bermain bersama, aku mau kita menikah, apakah kamu mau jadi isteri aku Sya?'' tanya Bian yang menyatakan perasaannya

Aku tak bisa berkatanya banyak, keristal-keristal bening menetes di dalam kedua mataku, setengah hati aku bahagia karena Bian ingin menikahi wanita yang penuh kekurangan seprtiku, setengah hati lagi akau takut tidak bisa membahagiakannya.

''Bian, apa kau yakin dengan ucapanmu itu?'' tanyaku

''Aku sungguh sangat yakin, karena hanya kamu yang bisa menerima kekuranganku'' katanya

''Kamu salah Bian, Justru aku takut tidak bisa bahagiain kamu''

''Sya, kita sama-sama punya kekurangan, apalah artinya mata yang bisa melihat tanpa seseorang yang dicintainya dapat termiliki, maka dari itu aku akn mencinta kekuranganmu itu, kita akan menciptakan pelangi bersama-sama'' celoteh Bian meyakinkanku.

Mendengar ucapan Bian yang sepertinya sangat sungguh-sungguh lantas akupun mengiyakan apa maunya, dengan catatan ''Jika memang dia akan mencintai kekuranganku maka dia juga harus mencintai kehidupanku''.

Senja pun tiba, Bian memintaku untuk memejamkan mata dan membayangkan merah jingga yang sedikit demi sedikit mulai terlukis di langit. Biarlah kertas putihku tetap menjadi putih, biarlah aku seperti ini, aku akan mencintai dengan mata hati.

Selesai

Bogor, 12 November 2014