Minggu, 16 November 2014

Cerpen:~Biarlah Senja Tak Berwarna ~


BIARLAH SENJA TAK BERWARNA
Oleh: Niaw Shinran

Present ...

Beritahu aku ketika langit tak lagi menangis
Beritahu aku ketika tanah sudah tak lagi basah
Beritahu aku ketika mentari mulai menyinari
Beritahu aku ketika langit biru berubah menjadi merah jingga.
**
Gulungan selembar kertas yang terlilit pita merah menyala betah menghiasi meja belajarku di antara beberapa buku dan pulpen. Guyonan yang menyakitkan hati itu membuatku semakin tak tahu kapan aku akan benar-benar melihat warna itu, ''Lebih baik kau bermimpi dan lihatlah apa yang ingin kau lihat di dalam impianmu itu, jika masih gelap lebih baik kau bersembunyi dibalik selimutmu dan jangan pernah berharap lagi'' seruan mereka yang masih terngiang dipikiranku.

Lama tak bersua dengan seorang sahabata yang kini telah pergi jauh ke negeri seberang 'Malaysia'. Rinduku merangkai bait demi bait doa yang terucap dalam hati, semoga siapapun dia yang kurindukan diberikan kesehatan serta kebahagiaan yang berlimpah, begitupula doa untukku, tak banyak yang kupinta dari Tuhan, aku hanya ingin bisa membuktikan ucapan sahabatku itu, ''Dunia ini tak seindah di dalam mimpi jika kau tak mampu memahami apa itu kehidupan yang sebenarnya, kebahagiaan bukan hanya dinilai dari apa yang kita lihat saja, tetapi apa yang kita rasakan juga itulah yang lebih membahagiakan'' ucapnya, Bian namanya.

Apakah semua itu benar? Entahlah, maka dari itu aku ingin sekali membuktikan ucapannya dan melihat senja. Tak sedikit benda-benda yang terjatuh karena kebodohanku, ah! Apakah ini sebuah kebodohan? Tidak! Ini adalah takdir, dimana Tuhan lebih menyayangiku seperti ini, tapi bagaimana dengan guyonan itu? Itu artinya ada orang yang tidak menyayangiku, apakah aku harus abaikan itu? Tapi bagaimana? Sementara hatiku masih merasa sakit. Kutatap langit-langit kamarku, gelap, kutatap sudut-sudut kamarku juga gela, kuharap itu karena mati lampu, ya, hanya mati lampu.


Tuhan memberi aku kehidupan tanpa warna yang nyata, Tuhan hanya memberikanku kehidupan di dalam mimpi, aku berlari di dalam mimpi, aku menulis di dalam mimpi, aku dapat melihat warna di dalam mimpi, semuanya di dalam mimpi, hanya saja di dalam mimpi aku tidak memiliki teman yang dapat kuterka wajahnya. Bian, aku rindu celotehnya, lima tahun telah berlalu, lima tahun sudah dia meninggalkanku, kurasa dia sudah sangat berubah, rasanya ingin kumenatap cermin sampai aku benar-benar bisa melihat perbedaan postur tubuh dan paras wajahku, sepertinya cuma begini-begini saja, buktinya aku belum bisa mencapai lemari bagian atas tempat gamis-gamis kesukaanku yang terlipat dan tergantung.

''Bian kapan pulang ya? Aku sudah tak sabar ingin memperlihatkan gambar langit sore ini padanya, aku yakin kali ini pasti tidak salah warna'' ujarku sembari menggenggam kertas berlilitkan pita itu.

Hari sudah semakin gelap, Kutarik gorden jendela kamarku, rasa hangat dari matahari sore yang tak lain adalah senja merasuk ke dalam celah-celah jendela dan membias di permukaan wajahku, kupejamkan mata ini dan membayangkan warna-warna indahnya.


''Aisya!!! Gara-gara kamu menjatuhkan handphoneku, kameranya jadi eror, dasar bodoh!!! Kau harus menggantinya!!'' teriak Meli dibalik pintu kamarku, dia adalah saudara tiriku.

Ya, apa aku bilang, aku memang bodoh, tapi kenapa setiap kali ada benda yang jatuh selalu saja menyalahkanku, padahal hari ini aku belum keluar kamar dan sama sekali tidak ada benda yang kujatuhkan. Mamaha, aku rindu mamah, aku tidak ingin papah menikah lagi waktu itu, karena imbasnya seperti ini, aku memiliki saudara yang tak pernah menyayangiku.

''Ta-tapi aku tidak menjatuhkan handphonemu itu, sungguh'' ucapku sedikit terbata-bata

''Kalau bukan kamu lalu siapa lagi? Mamah? Papah? Gak mungkinlah, pokoknya aku gak mau tau ya, kamu harus ganti handphoneku ini lima juta!'' serunya

''Ta-tapi, aku tidak punya uang sebanyak itu'' ucapku, tapi percuma, Meli sudah pergi dan tak mendengarkanku.

Kuraih genggaman laci dan menarik keluar, kuambil kunci lemariku untuk mengambil celengan kucing kesayanganku di dalam lemari, sudah hampir tiga tahun ini aku menyisihkan uang pemberian papah dari sewaktu SMA hingga sekarang, kini celengan kucingku harus kukorbankan untuk sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan, aku bisa saja menjelaskan semuanya, bahkan aku bisa saja minta uang itu kepada papah, tapi tidak segampang itu, ini biar jadi urusanku.

Braaak!!!

Entah ada berapa banyak koin yang berserakan kesegala arah, yang kuambil hanya uang kertasnya saja, sementara koin-koinnya hanya aku tumpukan saja dan kusimpan di dalam laci. Kini aku mengepal segepok uang untuk mengganti kerusakan handphone milik Meli, aku tak tahu berapa banyak uang yang ada ditanganku sekarang, yang membuatku heran kenapa Meli meminta uang begitu banyak padaku, apakah handphonnya itu benar-benar mahal? Entahlah.
**
Malam ini rasanya aku ingin sekali keluar rumah, memandang langit yang selalu gelap, melihat kunang-kunang yang entah apakah itu cahaya kunang-kunang, merasakan angin yang berlarian serta mendengarkan suara jangkrik-jangkrik kecil yang berirama. Benar saja, jangkrik-jangkrik di luar sedang bernyanyi, aku merasa memiliki teman malam ini, udara malam membuatku seluruh tubuhku terlepas dari kepenatan di dalam kamar seharian tadi.

''Seandainya ada Bian disini, pasti sekarang ini dia akan menemaniku dengan suaranya yang lembut, hmm, Bian, kapan kamu pulang?'' celotehku dalam hati

Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundakku kasar, segingga menbuaku merasa sedikit kesakitan, dia tak lain adalah Meli dan temannya Viola, mereka tiba-tiba saja mentertawakanku tanpa sebab, kupikir aku tidak sedang memakai kostum badut atau ondel-ondel, lantas apa yang mereka tertawakan? Aku hanya mengkerutkan kening dan merunduk.

''Hahaha, harus berapa kali sih aku bilang ke kamu kalau mau melihat apa yang mau kamu lihat itu di dalam mimpi aja, jangan kaya orang yang sok bisa melihat kaya gini dong, malu sama kenyataan!! Hahahah'' seru Meli

''Lebih baik kamu masuk sana, nanti masuk angin lagi, kalau sakitkan pasti ngerepotib bangetm iyakan Mel?'' ucap Viola


''Iya, Vi. Udah kamu masuk aja, ngerusak pemandangan tau gak!!'' diam sejenak ''Eh, sebentar deh, duitnya udah disiapinkan? Kalau enggak aku gak akan segan-segan ngacak-ngacak kamar kamu yang jelek itu!'' jelas Meli mengancamku

''Su-sudah kok, tapi aku tidak tahu apakah uangku cukup atau tidak untuk menggantinya'' jawabku

''Yasudah, nanti aku yang menghitung semuanya, ribet deh!, udah sana masuk!'' sahutnya

Lantas aku pun masuk ke dalam rumah dan bergegas ke dalam kamar dengan hati-hati, rasanya ingin kuberlari dan berteriak, lagi-lagi mereka mengatakan itu semua, kehidupanku hanya di dalam mimpi, aku manusia, apakah aku tak pantas hidup di kehidupan ini dengan segala kekuranganku? Apakah mereka merasa kalai diri merekalah yang paling sempurna? Ah, aku tidak mau terbawa emosi.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu, kurasa itu adalah Meli yang mau mengambil uang itu, segera kubuka dan kusuruh ia masuk, aku tidak ingin sampai ada yang tahu, terutama papah.

''Mana duitnya?'' tanya Meli

''Ini, silahkan kamu hitung senidir, itu uang celenganku selama tiga tahun ini, kuharap cukup'' kuberikan uang itu

''Bawel, sini biar kuhitung'' ... ''Sejuta, dua juta, tiga juta, empat juta, lim ... Lho? Ini cuma ada empat juta lima ratus ribu, kurang lima ratus ribu lagi dong'' ucap Meli

''Aku tidak punya uang lagi selain itu semua, tapi kalau kamu mau kamu boleh kok ambil koin-koin sisa celenganku ini'' kuberikan koin yang sudah kutumpukan tadi

''Iyuuh!! Receh? Its oke, aku ambil'' ... ''Kertas yang dililitkan pita apa isinya nih?'' tanya Meli ketika ia melihat kertas berlilikan pita tergeletak di meja belajarku

''I-itu, itu hanya sebuah gambar'' jawabku

''Gambar? Gambar apa?'' tanya Meli lagi

''Gambar langit senja'' ucapku

Karena penasaran lalu Meli pun membuka kertas itu dan melihatnya

''Hahahaha'' lagi-lagi Meli tersenyum tanpa sebab

''Ke-kenapa?'' tanyaku penasaran

''Gambar senja ya, suatu saat nanti kamu akan tau kenapa aku mentertawakan semua ini, hahaha, thaks ya duitnya, oiya aku hampir lupa, ada surat buat kamu, gak tau deh dari siapa'' ujar Meli

''Surat? Eng ... Bisa tolong dibacakan tidak?'' pintaku

''Arggh!! Selalu saja merepotkan!! Oke aku bacain surat ini, dengerin baik-baik ya''
''Dear seseorang yang sangat kurindukan, Aisya.
Hay Aisya apa kabar? Kuharap kamu baik-baik saja dan masih seperti Aisya yang kukanal, cantik, manis, murah senyum, dan baik hati.
Maaf karena selama ini aku jarang menghubungimu. Aku disini sangat sibuk sekali, kini aku sudah menjadi seorang dokter muda, hebatkan! Hehehe
Aisya, apakah kau sudah menyiapkannya? Sesuatu yang pernah kupinta dulu, aku tau kau tidak akan mengecewakanku
Besok aku akan pulang ke Indonesia, aku kangen sama kamu, aku mau mengajakmu kesuatu tempat, tempat dimana kamu ingin sekali mengunjunginya, kamu pasti penasaran
Kalau begitu selamat menunggu ya, besok aku akan menjemputmu.
-Bian-''

''Huh! Bian itu siapa sih? Lebay banget kaya anak ABG'' tanya Meli sembari menyerahkan surat itu padaku

''Bian itu sahabatku dari kecil, kita hanya beda umur dua tahun, dan dia akan pulang besok dari Kuala Lumpur'' seruku

''Uasudahlah gak penting!! Bay!!'' Meli pun pergi dengan membawa uangku.

Deg! Deg! Deg

 Jantungku berdebar-debar setelah tau kalau Bian akan pulang, aku sudah tidak sabar ingin menunjukan gambar itu.
**
''Aisya, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu'' sahut mamah

Aku segera bergegas keluar dari kamar dan menemui seseorang itu, dan itu sudah pasti Bian.

''Kuharap aku tidak salah kostum'' ucapku dalam hati

''Aisya'' sapa suara laki-laki yang mungkin ada dihadapanku, aku kenal suara itu, lembut dan menyejukan hati

''Bi-bian, kaukah itu?'' tanyaku

''Iya, aku Bian'' helas Bian, dia memelukku dan segera mengajakku ke suatu tempat yang dijanjikannya dalam surat itu

''Kita mau kemana?'' tanyaku

''Kita akan ke bukit, kita kan sudah lama tidak main ke sana'' serunya

''Pelan-pelan Bian, aku tak sempat memakai sendal karena kau langsung menarik tanganku begitu saja'' pintaku

''Haha, maaf ya, karena aku sudah tidak sabar'' ucapnya.

Aetibanya di bukit, Aku dan Bian duduk di antara bebatuan yang besar, menunggu sore tiba hingga terciptanya warna merah jingga dilangit sana. Aku masih menyembunykan kertas itu di dalam saku bajuku, aku akan berikan itu jika Bian mempertanyakannya. Bian banyak bercerita tentang kehidupannya yang sekarang, dia sudah bisa memanjat poholah, dia juga sudah bisa memakai dasi sendirilah, tidak takut kecoa lagi dan mulai menyukai yang namanya membaca. Aku hanya menjadi pendengar setia untuk semua cerita-ceritanya.

Jam sudah menunjukan pukul lima sore, Bian akhirnya menanyakan gambar itu, lalu dengan senangnya aku memberikan kertas berlilitkan pita itu padanya.

''Romantis sekali sampai harus pake pita seperti ini Sya'' ujar Bian

''Sudahlah, lebih baik dilihat saja, aku pasti sudah tidak salah warna lagi'' ucapku

Pelan-pelan Bian membuka pitanya dan melihat gambar yang kubuat itu, tiba-tiba Bian terdiam cukup lama, itu membuatku bertanya-tanya, ada apa?

''Benarkan aku sudah tidak salah warna lagi?'' tanyaku

''Mmmm, kamu masih salah warna Sya, sudah tiga kali ini warna yang kau pakai adalah warna putih, jadi tidak ada gambar apapun yang kulihat di kertas ini'' jelasnya

''A-apa?''

''Gak apa-apa kok Sya, aku mengartikan semua ini kalau hatimu itu bersih dan putih seputih kertas ini, jika kamu butuh warna maka akan aku berikan'' ucap Bian sambil memegang jemariku

''Apa maksudmu?'' tanyaku

''Sya, dari dulu aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan memberikan warna di dalam hidup kamu dengan cara apapun itu, aku sayang sama kamu Sya, aku mau kita bisa bersama-sama lagi seperti dulu kita selalu bermain bersama, aku mau kita menikah, apakah kamu mau jadi isteri aku Sya?'' tanya Bian yang menyatakan perasaannya

Aku tak bisa berkatanya banyak, keristal-keristal bening menetes di dalam kedua mataku, setengah hati aku bahagia karena Bian ingin menikahi wanita yang penuh kekurangan seprtiku, setengah hati lagi akau takut tidak bisa membahagiakannya.

''Bian, apa kau yakin dengan ucapanmu itu?'' tanyaku

''Aku sungguh sangat yakin, karena hanya kamu yang bisa menerima kekuranganku'' katanya

''Kamu salah Bian, Justru aku takut tidak bisa bahagiain kamu''

''Sya, kita sama-sama punya kekurangan, apalah artinya mata yang bisa melihat tanpa seseorang yang dicintainya dapat termiliki, maka dari itu aku akn mencinta kekuranganmu itu, kita akan menciptakan pelangi bersama-sama'' celoteh Bian meyakinkanku.

Mendengar ucapan Bian yang sepertinya sangat sungguh-sungguh lantas akupun mengiyakan apa maunya, dengan catatan ''Jika memang dia akan mencintai kekuranganku maka dia juga harus mencintai kehidupanku''.

Senja pun tiba, Bian memintaku untuk memejamkan mata dan membayangkan merah jingga yang sedikit demi sedikit mulai terlukis di langit. Biarlah kertas putihku tetap menjadi putih, biarlah aku seperti ini, aku akan mencintai dengan mata hati.

Selesai

Bogor, 12 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan jadilah pembaca setia cerpen maupun puisi saya...