Rabu, 16 Juli 2014

CERPEN ~KARENA AKU MILIKMU~



KARENA AKU MILIKMU
Oleh: Niaw Shinran

Present ...

Dapat diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana menjadi seorang istri itu tidak mudah, tak banyak pula wanita yang benar-benar siap untuk menjalaninya, termasuk aku.

**

Bagai daun yang terbawa angin, membiarkan dirinya terbawa pergi ke satu arah tanpa tahu akan berhenti di mana, bila hembusan angin terhalang oleh sebuah tebing yang tinggi, maka daun itu akan terjatuh dan merelakan dirinya terbentur, ia memang tak menagis, tapi kita tahu apa tentang rahasianya?

Kubuka lembaran baru di dalam hidupku bersamanya, seseorang yang meminangku dua minggu yang lalu, kurasakan ada sesuatu yang menahan hatiku untuk mencoba belajar untuk menjadi seorang istri yang patuh kepada suaminya, dikala ia memintaku untuk merapihkan dasinya, dikala ia memintaku untuk membuatkan kopi untuknya, dikala ia memintaku untuk duduk berdua dengannya dan dikala ia memintaku untuk menemani tidurnya, apakah semua itu harus selalu ia pinta? Bukankah tanpa harus dipinta pun seorang istri seharusnya melakukan tugasnya untuk melayani suaminya? Lalu apa yang membuatku pura-pura tidak tahu akan hal itu? Mungkin kah aku masih belum siap menjadi seorang istri?

Aku takjub kepada suamiku, mas Gilang. Ia tak pernah bosan menasehatiku untuk belajar menjadi seorang istri yang baik dan shalehah, ia tak tahu betapa aku kagum padanya, akan tetapi hatiku selalu berkata jika aku belum pantas dan siap menjadi seorang istri. Pagi itu mas Gilang menghampiriku di meja makan, ia terlihat senang karena baru kali ini aku menyiapkan sarapan untuknya

''Wahh, kamu menyiapkan semua ini Luna?''tanyanya sembari melihat semua masakanku

''I-iya, ini semua aku yang nyiapain''jawabku sedikit terbata

Segera mas Gilang menyodorkan piring kosong padaku, sepertinya ia benar-benar ingin aku layani dengan tulus, tetapi aku hanya diam dan pura-pura tak melihatnya, lantas mas Gilang menyimpan piringnya kembali dan mengambil nasi dan lauknya sendiri. Tak kulihat ada kekecewaan di wajahnya, ia tetap tersenyum dan memakan makanan yang kumasak,''Ya Tuhan, kenapa aku masih saja bersikap egois seperti ini? Kenapa perjodohanku dengan mas Gilang masih saja terngiang di benakku? Aku memang belum bisa mencintainya, namun yang membuatku seperti ini adalah ketidaksiapanku menjadi seorang istri''celotehku dalam hati, tak terasa airku menetes, cepat-cepat aku menghapusnya karena tak ingin mas Gilang melihatnya

''Luna, kok kamu gak makan si? Ayo dong kamu juga harus makan, kamu sakit?''tanya mas Gilang melihatku

''I-iya mas, ini juga aku mau makan kok''ujarku mencoba tak melihat balik ke wajahnya
''Kuharap mas Gilang tidak pernah mengetahui akan apa yang selama ini aku sembunyikan''ucapku dalam hati

''Oiya Luna, nanti siang mas mau ajak kamu ke rumah pak Umar yang ada di Bogor, kamu mau ya?''ajaknya

''Pak Umar? Pak Umar yang mana ya? Untuk apa kita ke rumahnya?''tanyaku

''Masa kamu lupa si? mas berencana untuk membeli tanah miliknya di Bogor dan kita bangun rumah di sana''jelas mas Gilang yang membuatku kaget

''Apa mas? Jadi kita akan bangun rumah di Bogor dan kita akan tinggal di sana?''tanyaku lagi

''Iya, kita kan sudah membicarakan ini sebelumnya, dan waktu mas tanya kamu mau atau enggak jawaban kamu cuma iya, iya dan iya saja, mas pikir kamu sudah setuju dengan rencana ini''serunya

''Mas Gilang maafin aku, waktu itu aku tidak benar-benar menanggapi ucapan kamu karena keegoisan aku''batinku

''Luna, Luna kenapa kamu diam aja? Kamu gak mau kita bangun rumah di Bogor dan tinggal di sana?''tanya mas Gilang lagi

''Mas, maafin aku ya, kayaknya aku berubah pikiran, aku memilih untuk tinggal saja di jakarta''jawabku

''Tapi Luna, mas ingin memberikan kehidupan yang lebih layak untuk kamu dengan membuat rumah yang besar di sana untuk kita dan untuk anak-anak kita kelak''seru mas Gilang

''Anak??''tanyaku spontan

''Iya, untuk kita dan anak-anak kita''ujarnya

Aku terdiam mendengar ucapannya
''Ya Tuhan, begitu perdulinya mas Gilang akan kebahagiaanku, tapi ... Tapi kenaoa aku malah seperti ini?'' Celotehku dalam hati, aku benar-benar tak menyangka mas Gilang akan mempersiapkan semua itu, anak? Aku sama sekali belum memikirkan soal itu, untuk tidur berdua dengannya saja masih kubatasi dengan bantal guling, ''Apakah mas Gilang ingin cepat-cepat memiliki anak dariku?'' lanjutku berceloteh dalam hati

''Mas, makasih banget karena kamu ingin benar-benar membahagiakan aku, tapi kurasa ini belum saatnya mas'' ujarku

''Belum saatnya gimana? mas adalah suami kamu, dan kamu adalah istri aku, jadi sudah sepantasnya dan sewajarnya bahkan memang inilah saatnya mas membahagiakan kamu dengan apa yang mas bisa lakukan dan mas berikan untuk kamu, sebenarnya apa si yang membuat kamu selalu berpikir terlalu panjang dalam memutuskan apa-apa yang mas inginkan? Soal anak, mas gak memaksa kamu untuk secepatnya memberikan seorang anak, karena itu datangnya dari ridho Tuhan, apa kamu merasa tertekan dengan sikap mas yang mungkin kurang perduli dan kurang perhatian sama kamu?'' tanya mas Gilang bertubi-tubi

''Bu-bukan mas, bukan seperti itu, aku cuma gak mau kecewain mas, karena selama ini aku belum bisa memberikan apa yang mas inginkan'' jawabku dengan menyembunyikan yang sebenarnya

Perdebatan kecil itu pun masih terus berlangsung dan berakhir ketika mas Gilang harus segera berangkat kerja, ''Yasudah, kalau begitu mas berangkat kerja dulu ya, kamu hati-hati di rumah, assalamualiakum'' serunya menyodorkan tangan kanan dan lekas kucium

Kupandangi ia dari belakang sampai akhirnya pergi dengan mobilnya, aku tahu mas Gilang pasti memikirkan perdebatan kecil tadi selama di perjalanan menuju tempat ia bekerja, aku menghela napas kemudian kembali ke meja makan dan membereskan meja, mungkin belum waktunya aku berbicara jujur akan apa yang selama ini aku sembunyikan dari mas Gilang, karena aku takut akan menyinggung perasaannya.

Cuaca hari ini lumayan panas, apalagi di tengah siang bolong seperti ini, rasanya aku ingin sekali meminum air dingin, lantas akuke dapur dan mengambil air minum di dalam lemari es, kulihat persediaan makanan sudah hampir habis, cepat-cepat aku meneguk air dingin yang sudah ada di tanganku lalu mengambil dompet di kamar dan segera kulangkahkan kakiku ke luar menuju super market terdekat tanpa harus mengeluarkan mobil. Setibanya aku di super market, aku melihat ada seorang laki-laki yang mirip sekali dengan Aldi, lebih tepatnya Aldi adalah mantan kekasihku yang kutinggalkan karena harus menikah dengan mas Gilang, aku mencoba untuk memastikan apakah itu benar Aldi atau bukan, semakin dekat kulihat dia dan semakin jelaslah siapa laki-laki itu, dan benar saja, ternyata laki-laki itu adalah Aldi. Tiba-tiba Aldi melihatku, lantas aku menjadi gugup dan berusaha menutupi wajahku dengan dompet yang kubawa, ''Jangan sampai Aldi tau aku ada di sini, aku gak mau berurusan dengan laki-laki lain mana pun selain mas Gilang'' ujarku

''Luna ...'' Sapa Aldi yang menghampiriku, aku pun tak bisa mengelak dan pergi begitu saja dari hadapannya
''Luna, aku kangen banget sama kamu, kenapa kamu mutusin aku dan menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak kamu cintai Luna?'' tanya Aldi

''Kamu jangan sok tau, aku mencintai suamiku, dan aku minta sama kamu jangan pernah membahas masa lalu lagi, karena di antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi!!'' cetusku

''Luna, kamu kenapa jadi dingin seperti ini sama aku? Aku tuh masih sayang sama kamu Lun'' seru Aldi yang memegang tanganku

''Lepasin tangan aku Al, aku sudah menjadi milik orang lain'' jelasku

''Tapi kamu gak cinta kan sama dia??'' ... '' Lun, aku tahu kamu gak akan pernah cinta sama laki-laki lain selain aku Luna'' serunya membanggakan diri. Aku berusaha melepaskan genggaman tangannya, tapi semakin kucoba melepasnya semakin Aldi memegang erat tanganku. Aku harus melakukan sesuatu, lantas kuinjak saja kakinya dan barulah Aldi melepaskan tanganku dan aku pun berlari pergi keluar dari super market itu

''Lun, Lunaaaa .... Tunggu Lunaaaa!'' teriak Aldi, namun kuhiraukan.

setelah kejadian tadi aku memutuskan untuk pergi ke super market lain dengan memakai mobil. disepanjang jalan aku memikirkan ucapan Aldi yang mengatakan kalau aku tidak akan pernah mencintai laki-laki lain selain dia, ''apakah aku akan seperti itu? Apakah aku tidak akan mencintai suamiku sendiri?'' batinku, ''Ah!! Tidak, tidak, biar bagaimanapun mas Gilang itu suami aku, aku akan berusaha mencintai dia, karena permaslahannya bukan karena cinta, tapi karena ketidaksiapanku menjadi seorang istri, tapi ... Bagaimana aku akan siap menjadi seorang istri kalau mencintai mas Gilang saja aku belum bisa?'' seruku, ''Aku yakin, aku pasti bisa, aku hanya belum berusaha dan masih mementingkan egoisku sendiri, mas Gilang itu sangat baik dan sosok seorang suami yang patut kucintai, ya Tuhan bantu aku untuk menumbuhak rasa cinta dan rasa keperdulianku sebagai seorang istri yang baik kepada mas Gilang, amin'' ujarku.

Hari sudah menjelang malam, kulihat jam sudah menunjukan pukul tujuh, biasanya mas Gilang selalu pulang tepat waktu, tapi entah kenapa malam ini ia telat pulang, mas Gilang telat dua jam

''Assalamualaikum'' ucapnya

''Waalaikum salam'' ucapku menjawab salamnya dan mencium tangan kanannya, kulihat wajahnya begitu kusut dan terlihat capek

Mas Gilang terduduk dan menghela napas sembari melonggarkan dasinya. Aku tak langsung menghampirinya duduk, aku hanya menatapnya dari depan pintu

''Luna, kenapa kamu berdiri saja di depan pintu? Apa tidak ada segelas teh hangat untuk mas?'' tegur mas Gilang, aku pun langsung terbangun dari keterdiamanku dan segera membuatkan teh hangat untuk mas Gilang, ''I-iya mas, sebentar ya'' ucapku sedikit gugup

Di dapur aku seperti orang linglung, aku mencari teh dan gula ke sana kemari, padahal teh dan gula tak jauh ada di hadapanku, lalu aku kebingungan sendiri mengambil sendok, yang kuambil lagi-lagi garpu dan garpu, sebenarnya ada apa denganku? Entahlah. Lima menit aku menyiapkan segelas teh hangat untuk mas Gilang, namun ketika kuhampiri ia di kursi ternyata mas Gilang tertidur, aku tak tega membangunkannya, kuletakan minumannya di meja, aku duduk di sampingnya, kutatap wajahnya, kuusap rambutnya, ada perasaan sedih di dalam hatiku, ada perasaan menyesal di dalam hatiku, aku pun tak bisa menahan air mataku agar tidak menetes, aku merasakan getaran yang belum pernah aku rasakan sebelumnya di mana getaran ini begitu mengguncang hebat kalbuku sehingga menggerakan tanganku untuk mengusap rambutnya dan mencium keningnya, suamiku, mas Gilang

''Hiks ... Mas, kenapa aku begitu bodoh selama ini? Aku lebih mementingkan egoku hanya karena ketidaksiapanku menjadi istrimu, aku meragukan kamu bisa membahagiakan aku dari pada seseorang yang pernah aku cintai, aku meragukan ketulusan yang ada di dalam hati kamu, apakah nanti aku adalah slah satu penghuni neraka dengan alasan tidak mencintai suamiku sendiri?'' diam sejenak dan menyenderkan kepalaku pada pundaknya, ''Mas, maafkan aku mas, aku tak pernah mau berusaha mencintaimu, aku tak pernah berusaha menegaskan hatiku sendiri untuk menjadi seorang istri yang baik, maafkan aku mas, hiks'' air mataku terus menetes, aku kecewa atas sikapku sendiri, aku kecewa akan keegoisanku sendiri, aku kecewa akan hari-hari di mana aku tak menjadi seorang istri yang mas Gilang inginkan.

**

Suara adzan subuh membangunkanku, aku tidak menyadari kalau mas Gilang membawaku ke kamar dari kursi semalam tadi, dan entah apa yang telah mas Gilang lakukan padaku

''Kamu sudah bangun Luna'' seru mas Gilang yang terlihat sudah siap-siap untuk melaksanakan shalat subuh

''Iya mas, kok aku bisa ada di kamar?'' tanyaku

Lalu mas Gilang menghampiriku sembari tersenyum
''Semalam kita berdua ketiduran di kursi, lalu mas bangun dan membawa kamu ke kamar'' jelasnya

''Lalu? Apa yang terjadi?'' tanyaku lagi

''Yang terjadi adalah proses di mana seorang anak bisa terlahir ke dunia'' jelasnya

Deg ... Deg ... Deg ...!

Detak jantungku berdegub kecang, pikiranku melayang ke mana-mana, tubuhku gemetaran dan entah aku harus merasa bahagia atau malah sebaliknya, ''Ya Tuhan, lantas reaksi apa yang aka aku tunjukan kepada mas Gilang setelah ia melakukan semuanya tanpa ijin dariku? Tapi aku tidak pantas marah padanya, karena itu memang haknya, dan mungkin ini memang sudah saatnya'' celotehku dalam hati

''Luna, Luna kenapa kamu diam saja? Kamu marah sama mas karena sudah melakukan semua itu? mas minta maaf ya? Tolong maafin mas'' tanya mas Gilang

Mendengar pertanyaan mas Gilang aku pun menangis, begitu kejamnya aku sebagai seorang istri telah membuat suaminya sendiri merasa bersalah atas sesuatu yang tak pantas dipermasalahkan

''Luna, sayang, maafin mas ya, kamu jangan nangis seperti ini dong, tolong maafin aku, aku hanya melaksanakan tanggung jawab dan janji aku sebagai suami layaknya apa yang sudah aku ucapkan dipernikahan kita'' jelas mas Gilang menjadi sangat menyesal atas apa yang sudah dilakukannya tadi malam

Aku menatap mas Gilang dengan tatapan yang mendalam, aku memeluknya dan mencium tangannya, aku merasa sangat berdosa, dengan apa yang mas Gilang lakukan justru membuka mata hatiku untuk berusaha mencintai dan menyayangi mas Gilang serta memantapkan hati dari ketidaksiapanku menjadi benar-benar harus siap dan selalu siap untuk melayani suamiku lahir dan batin

''Mas, mas gak salah, aku yang salah, hik ... Selama ini aku selalu menolak untuk melakukan apa yang mas lakukan tadi malam ke aku, selama ini aku tidak berusaha menjadi seorang istri yang bisa melayani dan merawat suaminya dengan baik, aku egois, aku selalu merasa belum siap dengan statusku sebagai seorang istri, aku menyesal mas, aku menyesal, hik ...'' ucapku dlam isakan tangis

Mas Gilang terdiam dan memelukku, kudengar ia pun menagis, betapa semakin berdosanya aku
''Mas, maafin aku ya, aku janji akan menjadi istri yang baik dan berusaha untuk mencintai mas dengan tulus, aku janji mas, aku janji'' tuturku terus menerus meminta maaf

''Terimakasih Luna, terimaksih ...'' jelasnya, tak ada kata-kata lain selain ia mengucapkan terimakasih padaku.

Betapa beruntungnya aku memiliki suami yang baik dan rendah hati serta tidak pernah membuatku merasa tersakiti atau dikecewakan, hidup dan matiku memang telah ditakdirkan untuk bersama dengan mas gilang, aku istrinya, aku adalah miliknya.

**

Dua bulan kemudian

''Jadi bagaimana keadaan istri saya Dokter?'' tanya mas Gilang kepada dokter yang memeriksa keadaanku yang akhir-akhir ini sering pusing dan mual

''Selamat ya pak, istri bapak sekarang sedang hamil'' seru Dokter itu membuatku dan mas Gilang takjub dan mengucap syukur

''Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah mendengar doa hamba untuk memiliki seorang anak'' ... ''Sayang, akhirnya kita akan punya seorang anak, aku akan jadi ayah dan kamu akan menjadi seorang ibu'' seru mas Gilang begitu bahagia

''Iya mas, akhirnya doa kita dikabulkan, dan sebentar lagi kita akan segera memiliki anak'' ujarku

Mas Gilang mencium dan mengusap perutku. Kebahagian yang terlihat di wajahnya masih terpancar sampai sepulangnya dari rumah sakit. Mas Gilang pun mulai posesif padaku, aku dilarang melakukan pekerjaan ini dan itu, terkecuali shalat dan berdoa agar calon bayi kami tetap sehat.

**

Sembilan bulan kemudian

Akhirnya yang ditungg-tunggu pun hadir ke dunia, kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan, persis seperti ayahnya. Kami memberinama anak kami yaitu 'Muhammad Fallen Allana'.

Awal pernikahanku dengan mas Gilang memang tak seindah pelangi yang tak kunjung hadir, tapi sekarang pelangi itu muncul dan memberikan warna yang indah dengan cara Tuhan memberikan anugerah yang luar biasa kepadaku dan mas Gilang.

''Aku mencintaimu mas, karena aku milikmu.''

Selesai
Niaw Shinran
Bogor, 08 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan jadilah pembaca setia cerpen maupun puisi saya...