Kamis, 20 Maret 2014

CERPEN:~Dia Bukan Untukku~


Penulis: Niaw ShinRan

Present..

Apalah arti sebuah umur, jika cinta datang tak pernah mengenal pada siapa dan di mana, hakikatnya ketulusan disetiap hati semua insan pasti ada.

**

Perasaan yang kumiliki semenjak pertemuan pertama itu. Dia gadis remaja yang cantik, dan mampu membuatku jatuh cinta, entah jatuh cinta untuk yang keberapa kalinya. Aku lelaki pantas tuk mencintai, pantas tuk memilih, pantas tuk memiliki cinta. Yang kita semua ketahui bahwa kehadiran cinta adalah anugerah.

Awalnya kutak pernah menyangka, hasrat yang kurasa tertanam untuknya-Rena, si gadis remaja yang cantik, dia masih duduk di kelas dua SMA. Sementara aku, umurku saja sudah berkepala tiga. Pantaskah aku memiliki hasrat yang special terhadapnya yang lebih pantas kuanggap adik?
Semua kukembalikan lagi pada kepercayaan diri ini dan jalan Tuhan untukku nanti.

Pertama aku mengenalnya di pertigaan jalan itu amat teramat mengesankan, di mana dia tersenyum kepadaku sembari mengambilkan dompetku yang terjatuh. Kupikir dia akan memanggilku dengan sebutan Mas atau Kaka, tapi ternyata dia memanggilku dengan sebutan Om. Apakah aku terlihat tua dari pada umurku? Ah, mungkin kumis tipisku membuatku terlihat tua, apalagi styleku pada waktu itu memakai seragam kantor, Hahaha pantas saja. Jujur saja ingin kuulangi pertemuan itu di sana.

Sepertinya Tuhan memihak padaku, entah bagaimana aku kembali bertemu dengannya, si gadisku yang cantik di tempat yang berbeda. Siang itu ban motorku tiba-tiba saja bocor, lalu kudorong ke bengkel langgananku yang tidak jauh dari kantor.

"Motornya kenapa lagi bang?" tanya Maman selaku pemilik bengkel

"Biasa ni Man, tiba-tiba bocor, tolong dibenerin deh. Saya buru-buru nih" ujarku meminta Maman untuk segera memperbaiki ban motorku.

Dari sisi kanan pandanganku tersita oleh kehadiran dua siswi SMA yang mendorong sepeda motor. Kuperhatikan salah seorang dari ke dua siswi itu sepertinya ada wajah yang tak asing lagi kulihat. Si gadis cantik berambut sebahu, kulitnya putih juga senyumannya yang begitu manis.

"Rena.." sahutku menyapanya.

Rena terlihat keheranan memandangku, kurasa dia lupa akan wajahku yang memang waktu itu pertemuan pertamaku dengannya hanya sekejap mata memandang.

"Siapa ya? Kok Om tau namaku Rena?" tanya Rena dengan mengkerutkan keningnya

"Namamu tertulis di baju seragam sekolahmu, ituh!" ucapku

"Oh, ya ya ya. . Tapi apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Rena lagi

"Tentu, minggu kemarin kamu mengambilkan dompet saya yang terjatuh di pertigaan jalan sanah, kamu ingat?" seruku menunjuk.

Rena diam sejenak sembari mengingat-ingat, sementara pandanganku tak pernah berpaling dari wajahnya.

"Ohhh.. Ya! Rena baru inget Om. Lain kali hati-hati ya Om, coba kalau gak ada aku? Pasti dompet Om sudah diambil orang" ujarnya

"Hahaha, iya, terimakasih ya. Oiya, motor kamu kenapa?"
tanyaku lagi memperpanjang pembahasan, karna kutakut tidak akan bisa mengobrol panjang dengan sang pujaan hatiku.

"Ban motorku bocor Om. Motor Om sendiri kenapa?" tanya Rena

"Sama, ban motor saya juga bocor" diam sejenak sembari mengambil sebuah kartu nama di dalam saku bajuku "Ini kartu nama saya, kapan-kapan kita bisa ngobrol bareng kan?" tanyaku memberikan kartu nama.

Ketika Rena hendak akan mengambil kartu namaku tiba-tiba saja temannya menarik tangan Rena lalu berbisik kepadanya "Na, lo jangan kena tipu sama tipe om om kaya dia, jangan-jangan lo mau dijadikan gula-gulanya dia" bisik temannya yang bernama Laras. Lalu dengan cepat Rena mempercayai temannya dibandingkan harus mengambil kartu namaku.

"Ma-maaf om, aku gak bisa ambil kartu nama om, sebaiknya om simpan lagi saja" ucapnya membuatku sedikit kecewa. Tanpa banyak bertanya lagi kenapa, aku pun menyimpan kartu namaku ke dalam saku bajuku lagi.

"Bang! Motorku sudah siapa pakai lagi nih" seru Maman

"Oke, thanks ya Man. Kalau begitu Saya duluan ya Rena" ujarku menatap Rena, sementara itu Rena hanya sedikit melihatku kemudian membuang muka.

Menjadi sebuah tanda tanya besar memang, kenapa Rena tidak mau menerima kartu nama dariku dan apa sebabnya? Entahlah, kurasa Rena tidak ingin mengenalku lebih jauh lagi, apalagi dimatanya aku hanyalah seorang Om-om, Oh My God!

**

Malam ini kulihat langit tak menampakan bintang, kupikir tengah malam nanti akan turun hujan, karna suara petir sudah menyambar sana-sini. Malangnya seorang anak kosan sepertiku ini memang terasa menyedihkan, disaat kedinginan tak ada yang menghangatkan dan disaat kelaparan tak ada pula makanan kalau tidak memasak sendiri, jalan lainnya adalah pergi ke warung makan. Kebetulan hari ini aku tidak masak, perutku mulai kelaparan setelah membereskan kamarku dari bungkus-bungkus makanan ringan yang kubeli kemarin malam.

"Kalau aku gak keluar cari makanan yang ada nantiaku kelaperan dan gak bisa tidur nyenyak. Hah! Ya Tuhan, aku bermunajat padamu agar segera dekatkan aku dengan jodohku.. Pengennya si sama Rena, bisa gak?" celotehku. Ternyata Rena mampu membuatku berangan-angan.

Lantas aku pergi ke luar rumah untuk mencari makanan bersama teman satu kamar, Rendi namanya, ia baru lulus SMA dari kampung yang bekerja di kota menjadi seorang OfficeBoy di kantor tempat aku bekerja.

"Mau makan apa Ren?" tanyaku setibanya di rumah makan

"Aku gak makan di sini ah mas, mau dibungkus saja untuk di kosan nanti" serunya

"Yasudah kalau gitu kamu pesan saja dulu sekalian untuk saya juga ya, biar nanti saya yang bayar" ucapku

"Yang bener mas? Memangnya mas Dika mau makan apa?" tanya Rendi

"Samakan saja dengan kamu, saya mau beli rokok sebentar di sana ya" seruku, Rendi menganggukan kepala lalu segera memesan makanan.

Aku berjalan menuju sebuah warung kecil untuk membeli rokok dan kopi untuk persediaan nanti malam, tadinya kupikir hujan tidak akan turun sekarang, tapi nyatanya gerimis mulai beriringan dan hujan pun turun begitu deras. Kulihat Rendi dari jauh sepertinya sudah memesan makanan, terbukti dari kantong kresek putih yang berisikan makanan kini ada ditangannya, aku mencoba melambaikan tangan pada Rendi, bermaksud agar ia tetap di sana sampai hujan reda, Rendi pun melihatku dan mengerti apa maksudku.
"Kenapa hujannya turun tiba-tiba begini si?" pikirku, lalu kuambil satu batang rokok untuk kuhisap. Beberapa menit kemudian aku mulai kedinginan.

Hujan semakin deras, sorot pandangan ke arah jauh pun semakin tak jelas, kuarahkan lagi pandangan ini pada Rendi, kulihat ia tak sendiri, melainkan sedang berdiri berdua dengan seorang perempuan, tak kulihat jelas wajah perempuan itu karna derasnya hujan. Tak lama kemudian ada seorang laki-laki yang menghampiri Rendi dan perempuan itu dengan membawa payung, lalu perempuan itu pergi meninggalkan Rendi bersama laki-laki yang membawa payung itu. Masih kuperhatikan Rendi di sana, sepertinya ia mulai pegal lalu terduduk di kursi yang memang sudah disediakan untuk pembeli.

Tiga puluh menit sudah berlalu, hujan pun sudah tidak terlalu deras seperti tadi, kupaksakan diri untuk berlari menuju Rendi yang masih mematung di sana.

"Ada apa mas? Inikan masih hujan" seru Rendi setibanya aku didekatnya menerjang hujan

"Saya sudah lapar sekali Ren" ujarku sambil memegang perut

"Iya mas, aku juga" diam sejenak mengetahui hujan sudah hampir reda "Kita pulang saja mas, hujannya sudah mau reda ko" ucap Rendi

"Baiklah, sebentar, saya mau bayar makanannya dulu, kalau langsung pulang disangkanya kita rampok lagi" gurauku, Rendi tertawa kecil.

Sesampainya di kosan, aku dan Rendi langsung menyantap makanan tadi dengan lahap. Sepertinya mata ini sudah tak bisa diajak kompromi setelah menghabiskan makanan tadi. Aku segera membaringkan tubuhku yang lelah ini. Baru beberapa menit aku tertidur terdengar suara Rendi yang tengah mengobrol lewat handphonenya. Tak ada maksud untuk menguping, tapi posisiku memang ada di samping Rendi.

"Yang tadi itu siapa?"
..
"Iya, yang menjemputmu"
..
"Ohh pembantu di rumah ya, kupikir pacarmu. Hahaha"
..
"Iya maaf, aku kan gak serius, oiya, kamu sekolah di mana?"
..
"Gak jauh dari kosan aku dong, kamu pasti salah satu murid yang tercantik ya di sekolah?"
..
"Yee aku gak gombal, kamu memang cantik ko"

Bla bla bla.. Seperti itulah percakapannya, hanya saja aku tak tahu apa yang dikatakan oleh teman obrolannya itu. Teringat akan masa-masa seperti di mana aku masih berumur belasan tahun yang lalu, aku pun sama seperti Rendi, senang mengobrol malam lewat handphone dengan perempuan yang kusuka. Dulu semasa SMA, perempuan yang kusukai namanya Nia, Nia Kurnia Sari. Namanya cukup pasaran, namun sikapnya yang sedikit jutek tak ada di pasar manapun, hehe. Kita satu angkatan, hanya saja berbeda kelas, bukan hanya sekedar suka ketika aku melihat senyuman dibalik sikap dinginnya, tetapi kekagumanku pada sisi keromantisannya yang ditulis dalam selembar kertas, ditulisnya puisi cinta setiap hari lalu ditempel di dinding mading sekolah. Ya, aku suka dia yang jutek tapi romantis. Rasa itu berubah menjadi benih cinta yang tersirat dalam hatiku, tapi bodohnya aku yang tak pernah mengatakan perasaanku ini padanya, hingga pada saat-saat kelulusan tiba, dia menghampiriku dan memintaku berpotho bersama untuk kenang-kenangan, katanya. Kini aku hanya bisa mengenangnya lewat potho yang sudah lama kusimpan.

**

Sebenarnya aku tak pernah mengerti mengapa aku bisa menyukainya, Rena. Dia memang cantik, manis, manis dan banyak manisnya. Ah entahlah, yang pasti aku tengah Falling in love padanya.

Pagi-pagi sekali sudah ada telphone masuk, kuraih handphoneku dalam keadaan mata yang setengah terpejam.
"Halo.. Emm.. Ada apa? Kaka masih ngantuk ni" ... "Apaa!!" seruku segera membuka mata dan bangun setelah mendengar kabar dari adik perempuanku yang mengatakan kalau ibu sedang sakit. "Iya iya. . . Kaka segera ke sana sekarang, kamu jagain ibu ya" Tuuut.. Kumatikan dan segera bersiap-siap pulang menemui ibu.

Tak kuhiraukan Rendi yang masih terlelap. Kutinggalkan pesan singkat yang kutulis dan kuselipkan dibagian sisi cermin, berharap bila Rendi terbangun nanti bisa membaca pesanku itu.

Aku segera keluar pergi dengan mengendarai sepeda motorku. Lampu merah menghentikan laju motorku, disaat aku sedang gelisah memikirkan ibuku yang sedang berada di rumah sakit, tiba-tiba dari sisi kananku ada seseorang yang juga menghentikan sepeda motornya karna lampu merah, seseorang itu adalah perempuan, wajahnya sedikit tak terlihat jelas karna dia memakai helm, tapi dari sepeda motor yang dibawanya seperti tak asing lagi dibenakku, berwarna putih bergambarkan kartun Doraemon. Kuingat-ingat siapa pemilik sepeda motor itu. "Rena.." pikirku. Hendakku sapa dia, namun sepeda motornya melesat membawanya pergi beriringan dengan kendaraan yang lain. Hatiku mendadak berdebar-debar, karna dari belakang ada mobil yang membunyikan klakson beberapa kali, jelas saja itu membuatku sedikit kaget, belum lagi celotehan si pengendaranya yang pedas, malangnya aku.

Kuhilangkan sejenak bayangan Rena di benakku untuk fokus mengendarai sepeda motor agar cepat sampai ke tempat tujuanku, Bogor, tepatnya ke rumah orang tua. Aku dilahirkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara bersama Danti, ia baru duduk di bangku kelas dua SMA sama seperti Rena, si gadis cantik itu.

Rupanya Rendi sudah bangun dan sedang membaca pesanku itu. "Rendi, saya harus pulang ke Bogor karna ada sesuatu yang penting, saya cuti selama satu minggu, kamu jaga diri baik-baik. DIKA" Gumam Rendi yang membaca suratku itu. "Tiba-tiba sekali.." ujarnya. Lalu bergegas berangkat kerja.

Sudah hampir satu tahun aku tidak pulang ke rumah, hanya lewat ponsel sajalah aku bisa menghubungi keluargaku. Sesampainya di Bogor, tiba-tiba ada yang menghentikan laju motorku, dia perempuan, kalau tidak salah namanya Euis, perempuan yang selalu mempropokator ibu untuk menikahkan aku dengannya, hanya dengan bermodalkan harta orang tuanya Euis menjanjikan ini dan itu kepada ibu.
"Awaaas..." ... "Kamu cari mati ya?" seruku marah-marah

"Kang Dika, Eh si akang kunaon atuh meni galak pisan sama Euis. Euis teh tadi liat motor akang dari jauh, Euis teh seneng akang udah pulang, jadinya Euis berhentiin aja motor akang" jelas Euis sambil merangkul tanganku

"Euis! Kamu gak malu apa? Tuh diliatin sama banyak orang kamu ngerangkul-rangkul tangan saya, nanti dikiranya kita ada apa-apa lagi" risiku sembari melepaskan genggaman tangan Euis

"Ih ari akang teh kenapa dari dulu sampai sekarang gak pernah manis sama Euis. Memangnya teh kenapa kalau diliat sama orang-orang? Kitakan mau nikah" seru Euis semakin membuatku tambah risi. Aku tak mau banyak bicara lagi lalu segera menjalankan sepeda motorku lagi.

"Akaaaang.. Kang Dika jangan tinggalin Euis atuh kang, akaaaang" teriak Euis sambil melambaikan kedua tangannya.

Aku tak pernah menyalahkan Ibu perihal permintaan Euis yang ingin menikah denganku dengan menjanjikan ini dan itu kepada ibu, semampuku berusaha untuk meyakinkan ibu kalau aku pasti bisa memberikan apa yang ibu inginkan dengan hasil kerja kerasku sendiri tanpa harus mencari kesempatan dalam keadaan yang membuatku serba salah. Setibanya di rumah aku langsung di sambut dengan pemandangan yang membuat tubuhku gemetaran dan tak sanggup untuk melihat semuanya, kibaran bendara kuning itu membuat air mataku menetes, pikiranku langsung tertuju pada ibu, setelah kepergian ayah lima tahun yang lalu membuat keluarku mengalami resiko ekonomi yang menurun drastis. Aku terlambat, Kini di hadapanku sudah ada ibu dengan penutup tubuhnya dengan wewangian yang membuatku tambah tak bisa membendung air mata ini. Isak tangis terdengar dari suara serak Danti, aku langsung terduduk merangkulnya dan menenggelamkan isakan tangisnya di dadaku.

"Ibu ka.. Ibu sudah meninggal, hik.. Ibu ninggalin kita" pilu Danti

"Kita harus kuat Danti, kita gak boleh terlalu lama menangisi kepergian ibu, kita harus terima semua ini" ujarku berusaha menenangkan Danti

"Iya ka.. Danti akan berusaha nerima semua ini"

Danti masih dalam pelukanku. Aku gagal untuk membahagiakan kedua orang tuaku semasa mereka hidup, sebagai anak pertama aku harus bisa menjadi orang tua pengganti untuk adikku, aku harus menjadi seorang anak yang berbakti walau keadaannya sudah tak lagi sama seperti di mana dulu aku yang dirawat oleh ibu dan ayah.

**

"Hay Rendi, maaf ya kamu jadi lama nungguin aku" seru seorang perempuan yang sudah mengenal Rendi

"Gak apa-apa ko, baru aja beberapa menit" ujar Rendi tersenyum. Mereka janjian untuk makan siang bersama tempat di mana mereka pertama bertemu. Mereka mengobrol, saling bertanya, bercanda dan tertawa bersama.

"Rumah kamu di mana?" tanya perempuan itu

"Aku di jakarta ngekos, dan baru tiga bulan ini aku bekerja" jelas Rendi. Perempuan itu tersenyum dan berkata "Oh".

Tak lama kemudian ada seorang perempuan yang menghampiri mereka yang tidak lain adalah teman dari perempuan kenalan Rendi.

 "Ternyata lo di sini?" ... "Eh, sory sory, aku ganggu ya, kalau gitu aku balik lagi aja kali ya. Hehe.. Dah.. Sory loh udah ganggu" seru perempuan yang menghampiri itu, tak lama kemudian ia pergi kembali dengan meninggalkan kesan yang berbeda dimata Rendi. Bayangan perempuan itu menjadi hiasan di dalam benak Rendi.

"Dia itu siapa?" tanya Rendi

"Dia teman satu kelasku, hehe. Dia emang seperti itu, sedikit aneh" ujar temannya Rendi

"Aneh? Eng.. Dia cantik ya" jelas Rendi membuat teman perempuannya bisa langsung menebak sesuatu

"Kamu suka sama dia? Dia lagi jomblo ko.."

"Mungkin iya, mungkin juga cuma perasaan yang wajar aja, tapi kalau kamu gak keberatan, boleh aku deketin dia?" pinta Rendi

"Tentu aja boleh dong, dia pasti suka sama kamu, karna dia itu lagi nyari cowo yang apa adanya, kaya kamu gitu" seru temannya Rendi

"Oiya..?" tanya Rendi, lalu temannya mengganggukan kepala dan tersenyum. Sepertinya Rendi benar-benar tertarik pada perempuan yang sepintas ada di hadapannya tadi.

**

Satu minggu setelah meninggalnya ibu, aku berencana untuk membawa Danti tinggal bersamaku di kota dan meneruskan sekolahnya di sana. Namun Danti tidak mau ikut bersamaku, katanya ia tidak mau meninggalkan rumah satu-satunya peninggalan ibu dan ayah. Lantas aku tak mau memaksanya, lalu kuminta kepada Danti untuk jaga diri baik-baik selama aku bekerja di kota.

"Iya ka.. Setelah lulus sekolah nanti Danti akan ikut kaka ke kota dan bekerja di sana" seru Danti yang mengantarku keluar rumah untuk kembali ke kota

"Yasudah kalau begitu kaka pergi dulu ya, kaka percaya ko sma kamu.. Jangan nakal ya, assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Dengan cepat laju motorku pergi dari hadapan Danti, aku tahu Danti belum benar-benar ingin aku pergi, aku tahu setelah ini dia akan menangis selama beberapa menit lamanya. Apa boleh buat, aku harus kembali ke kota.

Masa depan yang tak kuketahui akan seperti apa menjadi salah satu motivasi hidupku untuk berusaha melakukan yang terbaik untukku dan untuk masa depanku. Apalagi masalah jodoh, aku sangat hati-hati akan masalah itu, aku ingin memiki pasangan hidup yang benar-benar bisa mengurusku, berandai-andai akan memiliki seorang istri yang sempurna memang menyenangkan, apalagi yang menjadi istriku nanti adalah si Gadis cantik itu, Rena.
Setibanya aku di kosan, nampak ada Rendi yang baru saja pulang kerja.

"Baru pulang kerja?" seruku mengagetkan Rendi yang tidak menyadari kedatanganku

"Eh, mas Dika kapan pulang? Ko gak ngabarin aku dulu? Kan bisa aku siapin?"

"Memangnya kamu mau siapin apa untuk saya? Makanan? Masak air aja gosong! Hahaha" ledekku

"Mas Dika ini bisa aja, akhirnya suasana kamar ini kembali menyenangkan, semenjak mas Dika pergi kamar ini jadi sepi dan gak ada yang masak lagi, haha" balas ledek Rendi "Oiya Mas, memangnya ada keperluan apa ko tiba-tiba pulang ke rumah sampai-sampai cuti kerja selama satu minggu?" tanya Rendi lagi. Aku kembali teringat almarhum ibu, jelas saja, satu minggu yang lalu ibuku telah tiada.

"Ibu saya meninggal" jelasku

"Aku turut berduka cita mas, mas yang sabar ya"

"Iya.." ... "Kalau begitu malam minggu ini saya mau istirahat saja, kalau km mau keluar jangan lupa bawa kunci pintu, karna saya pastikan tidak akan mau membukakan pintu kalau km pulang nanti. Hahaha"
ledekku lagi

"Hahaha, siap!" ujar Rendi.

Sesudah selesai mandi dan bersih-bersih aku langsung merebahkan tubuhku ini untuk beristirahat, perjalanan tadi membuatku lelah dan letih. Malam ini adalah malam minggu yang paling suntuk dalam sejarah hidupku. Terpenjara di dalam kamar kos sendirian, seperti yang telah kukatakan tadi kepada Rendi, kusuruh dia mengunciku dari dalam dan membawa kuncinya, alhasil malam ini aku terbangun dalam suasana kamar yang membosankan. "Kenapa juga aku nyuruh si Rendi kunciin aku di kamar seperti ini? Hmm.. Udah hampir jam sebelas malam, kenapa Rendi belum pulang juga ya?" celotehku sembari melirik jam dinding. Karna merasa bosan, lantas aku tidur kembali meneruskan mimpi yang sempat tertunda tadi, mimpi bisa mengajak Rena pergi kesuatu tempat yang indah di mana aku akan mengutarakan perasaanku padanya.

Pagi menjelang, cahaya matahari yang masuk ke sela-sela jendela menyilaukan mataku, aku pun terbangun. Di samping kasur kulihat ada Rendi yang juga baru terbangun dari tidurnya, aku penasaran kemana perginya dia semalam.

"Semalam pulang jam berapa?" tanyaku

"Eh Mas Dika, maaf mas, semalam aku pulang agak malam" seru Rendi

"Iya tidak apa-apa, memangnya kamu kemana saja?" tanyaku lagi penasaran

"Semalam aku menemui seseorang mas" jelasnya

"Seseorang? Perempuan?" tanyaku semakin penasaran

"Iya mas, semalam aku nembak dia, dan.. Tadi malam kita resmi jadian" celotehnya. Aku menghampiri Rendi sambil menepuk pundaknya "Hahaha, kmu hebat! Selamat ya, saya pikir yang akan mengakhiri status jomblo itu saya duluan, ternyata kmu jauh lebih cepat" ujarku

"Memangnya mas Dika lagi suka sma cewek juga ya? Siapa mas?"

"Ya, perasaan suka ini saya rasakan dari dua minggu yang lalu.. Ah sudahlah, lupakan saja" ujarku

"Loh kenapa mas? Kenapa harus dilupakan?" tanya Rendi tak mengerti apa maksudku

"Maksud saya ya sudah gak usah dibahas lagi. Oiya, kapan kmu kenalin pacar kmu itu?"

"Emm.. Kapan ya? Oiya mas, hari ini aku diajak liburan sama dia ke villa milik papahnya yang ada di puncak, mas boleh ikut ko, sekalian aku kenalin dia sma mas, gimana?" ajak Rendi

"Apa tidak mengganggu?" tanyaku ragu

"Tidak ko mas, lagi pula dia juga bawa teman ceweknya, ya siapa tau aja mas srek sma temannya, hehe" serunya. Aku berpikir akan ajakan Rendi liburan hari ini, apalagi tentang teman perempuan pacarnya yang Rendi bilang siapa tau bisa srek denganku. "Apa bisa aku jatuh cinta kelain hati? Sementara aku sudah jatuh cinta sama si gadis cantik Rena itu? Tidak mungkin" pikirku.

"Mas, gimana mau gak?" tanya Rendi

"Oke, saya ikut liburan sama kmu, tapi saya bawa motor sendiri aja ya"

"Iya mas gak apa-apa, aku sama yang lainnya di mobil, nanti kita ketemuan di villa"

"Oiya, kmu boleh mandi duluan, karna pasti sudah ditunggu sma pacarmu, iyakan?" godaku

"Hahaha, iya, mas Dika tau saja, kalau begitu aku mandi duluan ya mas"

Aku perhatikan Rendi begitu bahagia sudah mendapatkan pasangan, mungkinkah aku juga akan sebahagia Rendi jika bisa mendapatkan Rena? Tentu saja.

Hari ini memang sangat cerah, pas untuk liburan. Apalagi aku membawa seorang perempuan yang kucintai, tepatnya yang kusayangi. Aku rindu akan senyuman Rena, aku rindu kepolosannya, aku rindu paras wajahnya yang cantik. Tak kupikir sebelumnya akan mencintai seorang gadis yang masih di bawah umur seperti Rena, yang pantasnya menjadi adikku seperti Danti, tapi Rena berbeda dengan Danti, maka dari itu aku menyukainya, karna Rena juga bukan adikku.

Hampir dua jam perjalanan menuju Villa yang dimaksud oleh Rendi, kuhembuskan napasku seraya membuang penat karna malam minggu suram semalam. Kulangkahkan kaki pelan-pelan menghampiri Rendi yang melambaikan tangan di atas bukit tempat di mana Villa itu berdiri. Tak lama sesampainya aku di halaman Villa itu nampak kulihat seorang perempuan yang tak asing lagi di mataku. "Sepertinya aku pernah liat perempuan itu, tpi di mana ya?" gumamku. Kuhampiri perempuan itu denagn hati yang menerka-nerka. Lalu perempuan itu menoleh ke arahku.

"Loh? Om kan yang waktu itu mau berbuat tidak baik sama teman aku kan!! Ngapain om di sini?" tanya perempuan itu yang tidak lain adalah Laras, temannya Rena

"Berbuat yang tidak baik? Maksud kmu apa?" tanyaku tidak mengerti

"Om kan yang waktu di bengkel itu ngerayu teman aku biar bisa jadi gula-gulanya om? Ngaku deh!" merongosnya semakin membuatku tak mengerti

"Gula-gula? Aduh saya benar-benar gak ngerti maksud kmu apa. Dan saya ke sini di ajak teman saya, namanya Rendi"

"Rendi?" seru Laras.

Tak lama kemudian Rendi pun menghampiri kami karena suara Laras yang terbilang kencang dan berteriak . Rendi tak sendiri, diikuti oleh seorang perempuan dua minggu yang lalu kukenali.

"Ada apa si ribut-ribut?" tanya Rendi

"Iya nih, ada apa si?" tanya juga perempuan yang bersama Rendi.

Mataku langsung tertuju pada perempuan yang datang bersama Rendi itu yang tidak lain adalah Rena, perempuan yang kudambakan itu. "Rena?" gumamku pelan.

"Ada om-om gila yang mau ngerusak liburan kita Ren" cetus Laras

"Hah? Om ngapain di sini?" tanya Rena

"Mau ngapain lagi kalau bukan mencari mangsa Abg-abg kaya kita ini!" lanjut Laras menjelek-jelekanku di depan Rena, kalau bukan perempuan sudah kusumpal mulutnya dengan koran biar masuk berita seperti di televisi itu. Huh!

"Eh sudah-sudah! dia ini mas Dika yang tadi aku ceritain di mobil, mas Dika ini bukan gigolo" jelas Rendi yang membuat Rena dan Laras keheranan dan saling menatap satu sama lain.
"Aku bekerja di kantor tempat mas Dika bekerja juga, dan kita juga satu kosan ko, kalian gak percaya?" lanjut Rendi bertanya

"Emmm.. Kita percaya ko, iyakan La? Sebelumnya aku dan Laras minta maaf ya sama om.. Eng, maksud aku mas Dika. Hehe" ujar Rena dengan senyumannya yang manis "Kalau gitu kita masuk yuk, aku udah nyiapin makanan untuk kita" seru Rena mengajak kami masuk ke dalam. Aku menatap setiap gerak-gerik Rena, rambut sebahunya yang tertiup angin menambah kecantikan yang alami pada wajah berumuran tujuh belas tahun itu.

Dalam hatiku masih menyimpan tanya, sejak kapan Rendi dan Rena juga Laras bisa saling kenal? Dari cara mereka berbicara pun sepertinya sudah sangat akrab, tidak seperti aku yang masih merasa sebagai orang baru diantara mereka.

"Ternyata mas Dika sudah kenal sama Rena dan Laras, jadi aku tidak usah mengenalkan kalian ya, hahaha" ucap Rendi mengawali percakapan di meja makan

"Iya, kita memang udah saling kenal, kalau gak salah waktu itu aku mengambilkan dompet mas Dika yng terjatuh, lalu kita ketemu lgi di bengkel, dan pada waktu itu Laras berbisik klau mas Dika ini adalah om-om yng mau jadiin aku gula-gulanya, hahaha" sahut Rena

"Duh, aku jadi ngerasa gak enak sma mas Dika, maaf ya mas, aku gak ada maksud buat. . ." ucapan Laras terhenti karna aku langsung berbicara

"Gak apa-apa ko, saya bisa maklumi, karna tampang saya seperti om-om kan? Hahaha.. Oiya Ren, mana pacar kmu yang mau dikenalin sama saya?" tanyaku membuat semuanya terdiam. Namun kulihat Rena dan Rendi saling menatap dan tersenyum, begitu pun dengan laras yang membuatku mengadukan kedua halis.

"Aku hampir lupa soal itu mas, pacarku ada di sini ko" seru Rendi yang membuatku kembali bertanya-tanya

"Ada di sini?" diam sejenak sembari menebak siapa pacar Rendi "Saya tau, kamu kan?" tebakku menunjuk Laras. Mereka tertawa bersama, sementara aku keheranan sendiri

"Loh kenapa tertawa? Benarkan kalau Laras itu pacarnya Rendi?" tanyaku pada Rendi

"Maaf mas, pacarku bukan Laras, tapi Rena" jelas Rendi yang merubah suasana hatiku menjadi tak karuan

Degdeg!
Degdeg!
Degdeg!

Tetak jantungku tak beraturan, aku memandang Rena yang tersenyum bersama Rendi di atas luka yang kurasakan saat ini.

Taukah hatiku galau
Tak tau harus melangkah
Sejak pertama mata ini menatap hatiku tak pernah dusta

Bila cintaku ini salah
Hatiku tetap untukmu
Namun kenyataannya parah
Dirimu tak pernah untukku

Mencoba lupakan keinginan hati
Namun tak inginku menyerah
Tapi mengapa bila aku mendekat rasanya semakin jauh

Ternyata kuhanya bisa
Menggapaimu di mimpiku. (y.a.n)

Entah apa yang ada di dalam pikiranku saat ini, suasana sejuk di atas bukit ini tak mampu membuat hatiku nyaman, yang aku bayangkan saat ini adalah ketika pertama kali aku mengenal Rena di pertigaan jalan itu, di mana pertama kali aku jatuh hati padanya. Benar-benar tak pernah kusangka sebelumnya kalau semua ini akan terjadi pada kisah asmaraku. Dalam keterdiamanku di teras luar, Rendi menghampiriku dengan membawa dua cangkir teh.

"Mas" sapa Rendi

"Eh Rendi, ada apa?" tanyaku dan menghilangkan sejenak suasana galau tadi

"Rena ngajakin kita berpotho bareng" ujar Rendi. Aku sedikit terdiam

"Kalian duluan saja, saya masih mau di sini, oiya Ren, sejak kapan kamu kenal sama mereka?" tanyaku penasaran

"Aku mengenal Laras terlebih dahulu di tempat makan pada malam itu mas, dua hari sesudah itu Laras kenalin aku sma Rena, aku langsung tertarik padanya. Lalu aku deketin dia, setelah tadi malam aku nembak dia dan kita pun jadian" jelas Rendi yang membuatku berkata-kata dalam hati "Sesingkat itukah?".

"Apa yang membuat kmu menyukai Rena?" tanyaku lagi

"Entahlah mas, mungkin ini yang dinamakan dengan cinta, jatuh cinta tanpa alasan untuk menjelaskannya, tapi yang pasti aku benar-benar sayang sama Rena" ujarnya membuatku sedikit tak mampu berkata-kata

"Sama, saya jatuh hati padanya tanpa sebuah alasan yang bisa dijelaskan, jatuh cinta yang seperti itu memang indah" tuturku membuat Rendi bertanya

"Jatuh hati pada siapa mas?" tanya Rendi

"Jatuh hati pada seseorang yang sudah termiliki" ujarku

"Yang sabar ya mas, mungkin dia diciptakan bukan untuk mas Dika, aku yakin suatu saat nanti mas pasti akan mendapatkan yang lebih baik" celoteh Rendi sembari menyentuh pundakku, aku hanya bisa tersenyum menyembunyikan rasa sedih ini. Rendi pergi meninggalkanku menemui Rena yang mengajaknya untuk berpotho bersama.

Aku kembali terpaku, kupejamkan mata, berharap kesedihan tak berlarut-larut, kubiarkan angan-angan ini pergi, "Jujur saja aku belum bisa berpaling hati darinya ya Tuhan.." batinku. Harapan tinggallah harapan yang harus kukubur dalam bersama rasa ini.

**

Perasaan sedih juga suasana yang tidak mengenakan hati di Villa itu masih kurasakan sampai ke kosan, aku tak mau membohongi Rendi dengan menyembunyikan semua ini, biar bagaimana pun aku harus bisa melupakan keinginan untuk memiliki Rena, karna dia bukan untukku.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan rapih, aku akan kembali meninggalkan Rendi sendiri ke Bogor. Bukannya aku tak bisa menerima kenyataan ini, aku laki-laki, aku manusia biasa yang bila tersakiti walau tak di sengaja pun pasti akan terasa sakit, apalagi ini soal perasaan yang bertepuk setengah dari sebelah tangan. Aku melakukan lagi yang pernah kulakukan, menyelipkan selembar pesan pendek di sela-sela cermin untuk Rendi.

"Rendi, maaf untuk yang kedua kalinya karna saya menyampaikan ini hanya lewat surat. Saya pergi ke Bogor, satu minggu kemarin belum bisa menebus rasa rindu saya pada keluarga saya. Kamu jaga diri baik-baik dan jaga Rena. DIKA"

Pesan singkatkah itu? Ah yang jelas aku benar-benar sudah pergi dari kosan dan pulang dengan membawa bekas luka yang terukir dengan sendirinya di hatiku.

Setibanya di Bogor, aku kembali disambut oleh perempuan yang menurutku paling menyebalkan di dunia, Euis.

"Akaaaaang, akhirnya akang teh pulang lagi, Euis teh sudah yakin kalau akang pasti balik lagi buat ngelamar Euis, iyakan?" celoteh Euis dengan sesuka hatinya.

Dret!
Dret!
Dret!

Belum sempat kujawab pertanyaan Euis yang konyol itu tiba-tiba handphoneku bergetar tanda ada pesan masuk. Kuambil handphone dari saku celanaku dan segera kubaca

"Selamat melupakan ya Mas, aku pasti akan menjaga Rena, move on mas. RENDI"

Aku hanya bisa tersenyum membalas pesan dari Rendi, setelah itu sejenak aku berpikir, "Jika memang aku harus merelakan cinta pergi untuk dimiliki oleh orang yang lebih tepat maka aku ikhlas". Aku pastikan kejadian ini akan menjadi sebuah pengalaman yang termanis di dalam hidupku. Segera kupergi dari hadapan Euis tanpa menjawab pertanyaan konyolnya itu. Euis kembali berteriak memanggil namaku dari jauh sambil melambaikan tangan, kali ini akan kubalas lambaian tangannya tanpa menoleh ke arahnya.

Biarlah dan biarkan aku sendiri untuk belajar merelakan sesuatu yang harus pergi.

TAMAT
Bogor, 20 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan jadilah pembaca setia cerpen maupun puisi saya...